"Untuk climate sustainability (pengendalian iklim secara berkelanjutan) yang kita bahas pada kesempatan ini ada tiga hal, Pertama adalah bagaimana peran co-benefit antara aksi mitigasi dan aksi adaptasi untuk bisa menyiapkan suatu kondisi atau komunitas yang punya ketahanan iklim," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhenwanthi dalam konferensi pers Hasil Pertemuan Kedua G20 EDM-CSWG di Jakarta, Selasa.
Isu kedua di bidang pengendalian iklim secara berkelanjutan yang juga dibahas pada hari terakhir dalam pertemuan kedua G20 EDM-CSWG pada 19-22 Juni 2022 di Jakarta adalah bagaimana memperkuat aksi dan kerja sama kemitraan khusus untuk inisiatif pengelolaan laut yang berkelanjutan.
Baca juga: KLHK: Kolaborasi dibutuhkan semua pihak hadapi dampak perubahan iklim
Isu ketiga adalah bagaimana mendorong dan mempercepat implementasi dari nationally determined contribution (NDC) dengan pendekatan atau transisi yang berkelanjutan dari kondisi yang sekarang menuju kondisi yang lebih rendah karbon dan berketahanan iklim.
NDC merupakan komitmen dalam rencana aksi iklim untuk mengurangi emisi dan beradaptasi dengan dampak iklim.
Dalam dokumen NDC atau komitmen setiap negara pihak terhadap Persetujuan Paris, Indonesia menargetkan pengurangan emisi GRK sebesar 29 persen secara mandiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro mengatakan isu prioritas di bidang lingkungan hidup yang dibahas dalam pertemuan tersebut mencakup antara lain kerusakan lahan, pengelolaan air, sampah di laut, konsumsi berkelanjutan, dan efisiensi sumber daya.
Baca juga: KLHK: Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sama penting untuk RI
Selain isu prioritas tersebut, Sigit menuturkan Pemerintah Indonesia juga membawa misi untuk pemulihan gambut dan restorasi mangrove.
Indonesia akan berbagi banyak hal mengenai upaya pemulihan gambut dan restorasi mangrove yang dimiliki dan dilakukan termasuk terkait regulasi, keahlian teknis, dan bukti-bukti kerja di lapangan ke negara-negara terutama yang memiliki ekosistem gambut tropis.
"Ide ini juga disambut oleh negara-negara yang memiliki gambut yang berada di iklim dingin atau iklim yang sedang," ujarnya.
Sigit menuturkan lahan gambut dan mangrove memiliki peran yang penting dalam penyerapan karbon meskipun luas wilayahnya relatif kecil, yakni 3 persen dari permukaan bumi. Mangrove mampu menyimpan dan menyerap karbon lebih banyak daripada hutan tropis daratan.
Baca juga: Elemen adaptasi perubahan iklim jadi pembeda NDC Indonesia
"Jadi itu (lahan gambut dan mangrove) sangat penting untuk tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia," ujarnya.
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022