• Beranda
  • Berita
  • Keuskupan: Asmat manfaatkan kalender air BMKG untuk bertahan hidup

Keuskupan: Asmat manfaatkan kalender air BMKG untuk bertahan hidup

23 Juni 2022 07:52 WIB
Keuskupan: Asmat manfaatkan kalender air BMKG untuk bertahan hidup
Potret Bapak Uskup dari Keusukupan Agung Kota Agats, Kabupaten Asmat, Papua MGR. Aloysius Murwito (22/6/2022). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)

Uskup dari Keusukupan Agung Kota Agats, Kabupaten Asmat, Papua MGR Aloysius Murwito mengatakan bahwa Suku Asmat biasa memanfaatkan kalender air dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk bertahan hidup.

“Makanya BMKG buat kalender untuk satu tahun dan selalu bisa didapatkan pada awal tahun. Selain (kalender) Masehi, kami punya kalender air, ini semacam buku hidup di sini,” kata Uskup Aloysius saat ditemui ANTARA di Kota Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Kamis.

Setelah hampir 20 tahun berada di Kota Agats, kata Uskup MGR Alysius Murwito, kalender air adalah kalender yang berisikan data-data yang bisa memantau setiap saat kondisi air laut.

Baca juga: Kader: Pengetahuan ayah di Suku Asmat penyebab ibu takut ikuti KB

Kalender air sangat berguna bagi pengemudi untuk mengarungi sungai dengan memperhatikan waktu pasang surut air sungai serta penduduk mencari bahan makanan seperti udang dan ikan.

“Ini penting sekali, karena untuk perjalanan tertentu. Belum tentu hari ini, jam ini kami bisa melewati jalur sungai ini. Untuk orang yang tidak akrab dengan sungai air pasang surut mutlak perlu,” ujar Aloysius.

Bila sungai surut atau yang dikenal Suku Asmat sebagai sungai Meti, masyarakat akan memanfaatkan waktu tersebut untuk bercocok tanam seperti sawi, bayam atau singkong, sebab air tidak akan menggenangi kebun.

Menurut Aloysius, masyarakat yang pekerjaan utamanya sebagai peramu atau pengumpul bahan sumber daya alam di daerah tertentu akan kesulitan untuk mencari sagu ataupun hasil hutan lainnya.

Baca juga: Suku Asmat gunakan speed boat untuk berkegiatan sehari-hari

Baca juga: Suku Asmat kekurangan guru guna imbangi jumlah siswa yang meningkat

Sebagai peramu, masyarakat harus menebang pohon sagu, memeras ampas sagu dan mengangkatnya menjadi sari pati tepung dalam sebuah tas bernama noken. Biasanya dari satu pohon bisa mendapatkan dua hingga tiga noken tergantung dengan besarnya pohon.

“Artinya, mau tidak mau mereka harus mendapatkan hasil secukupnya, lain-lain tidak ada. Mereka sudah puas dengan itu, itu makanan pokok mereka. Ternak tidak ada, kalau mau makan babi mereka akan berburu di hutan,” kata dia.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022