Kendati demikian, Staf Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM dr. Adityo Susilo, Sp.PD-KPTI. FINASIM mengatakan jus jambu tidak dapat mengubah perjalanan penyakit DBD.
"Jus jambu, unfortunately, berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang ada itu tidak dapat mengubah perjalanan penyakit," kata Adityo dalam sebuah webinar kesehatan pada Kamis.
Adityo menjelaskan, naik turunnya trombosit saat DBD merupakan proses yang terjadi secara alami sesuai perjalanan penyakitnya.
Baca juga: Jus jambu belum terbukti naikkan trombosit
Tapi setidaknya, kata dia, saat pasien meminum jus jambu, dia telah berusaha memenuhi kebutuhan cairan. Pasalnya, pada penderita DBD, plasma darah yang mengandung air dan nutrisi akan bocor sehingga isinya keluar dari pembuluh darah ke jaringan lain.
"Dengan mau minum, paling tidak Anda memenuhi kebutuhan cairan. Jadi sangat-sangat dipersilahkan untuk minum," ujar Adityo.
Turunnya kadar trombosit memang sering kali dialami oleh pasien yang sakit DBD. Adityo mengatakan, hal tersebut karena trombosit akan banyak terpakai untuk menyumbat daerah-daerah endotel (sel di pembuluh darah) yang mengalami pelebaran karena radang akibat virus dengue. Semakin berat peradangannya, maka semakin banyak pula trombosit yang akan terpakai.
Saat seseorang terkena DBD, Adityo mengatakan dia harus dipantau ketat terutama saat dia sedang berada dalam fase kritis, yaitu saat demam sudah menurun.
Umumnya, lanjut dia, dokter akan memastikan bahwa kebutuhan cairan di pembuluh darah pasien selalu cukup. Jika tidak, maka risiko syok akan terjadi.
"Kalau dia masih bisa minum dan makan dengan baik, lambungnya enggak terlalu sakit, silakan minum. Tapi kalau enggak ya semampunya atau kalau sudah dirawat di rumah sakit, akan diinfus," ujar Adityo.
Berikutnya, Adityo melanjutkan penderita DBD harus beristirahat dengan cukup untuk membantu mempercepat proses penyembuhan dan menurunkan risiko komplikasi.
"Kemudian karena ini adalah demam, maka obat demam menjadi penting. Selain itu juga mengonsumsi obat-obatan simtomatik sesuai dengan gejalanya," ujar Adityo.
"Tentu yang berikutnya juga harus dilakukan pemantauan mulai dari tekanan darah hingga kondisi suhu tubuh, untuk menilai risiko dan memberikan tatalaksana yang lebih optimal. Terpenting lagi juga mengawasi tanda-tanda bahaya supaya bisa waspada lebih dini," pungkasnya.
Baca juga: Plasma darah kaya trombosit bisa untuk terapi atasi kebotakan
Baca juga: Trombosit pasien "suspect" ebola di Madiun menurun
Baca juga: Ini cara kenali perbedaan DBD, tifus dan malaria
Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022