Itu tepat tiga hari setelah ASEAN membentuk ASEAN Para Sports Federation (APSF) setelah enam bulan sebelumnya sepuluh negara di Asia Tenggara membuat kesepakatan mengadakan perhelatan ini setiap dua tahun sekali.
Sekitar 700 atlet dan ofisial dari Brunei, Myanmar, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura dan Vietnam berpartisipasi dalam edisi pertama ASEAN Para Games yang mempertandingkan dua cabang olahraga.
Dua tahun kemudian Timor Leste mengikuti ASEAN Para Games yang kedua di Vietnam.
Kini, Solo untuk kedua kalinya menjadi tuan rumah ASEAN Para Games setelah Vietnam menyatakan tak bisa menyelenggarakannya.
Vietnam adalah negara kedua setelah Filipina yang batal menyelenggarakan ASEAN Para Games.
Baca juga: 2.309 peserta dari 11 negara ikuti APG 2022 di Jateng
Dan ketika Solo menggelar lagi ASEAN Para Games mulai 30 Juli nanti, maka itu adalah Para Games se-Asia Tenggara kesebelas yang diadakan oleh ASEAN plus Timor Leste.
Solo sudah pernah menggelar acara ini pada 2011 yang saat itu merupakan ASEAN Para Games yang keenam.
Sebagaimana SEA Games dua bulan lalu, perhelatan para se-Asia Tenggara ini seharusnya diadakan setahun sebelumnya setelah jadwal yang seharusnya dibatalkan akibat pandemi COVID-19.
Dalam sepuluh edisi sebelumnya, Thailand hampir selalu mendominasi kompetisi multicabang untuk kaum difabel sekawasan Asia Tenggara ini. Indonesia menjadi kekuatan dominan dalam edisi terakhir di Kuala Lumpur pada 2017.
Memang menarik membahas perhelatan ini dari sisi jumlah medali yang diperoleh setiap negara atau negara mana yang paling banyak memperoleh medali.
Itu sama menariknya dengan cara masyarakat Asia Tenggara memberi tempat khusus kepada kaum difabel yang dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Namun yang tak kalah menarik dari kedua aspek itu adalah bagaimana olahraga turut memberdayakan para penyandang disabilitas.
Universal
Sebagaimana seni, olah raga adalah universal. Olahraga tak mengenal pembedaan manusia karena warna kulit, etnis, agama atau orientasi politik.
Tetapi karena sifatnya yang istimewa ini justru membuat olahraga selalu menjadi pemersatu, bukan pemecah belah masyarakat.
Olahraga juga medium yang mengharamkan diskriminasi, sebaliknya memutlakkan penglibatan semua kalangan manusia, dari yang dianugerahi kesempurnaan fisik sampai kaum difabel.
Tempatnya yang istimewa dalam membantu manusia mengatasi hambatan bahasa, budaya dan sosial, membuat olahraga menjadi platform tepat dalam membentuk masyarakat yang inklusif.
Sudah begitu, kepopuleran dan kemanfaatannya yang begitu tinggi yang menyentuh hampir semua aspek kehidupan, membuat olahraga menjadi alat ideal dalam memajukan masyarakat inklusif yang melibatkan semuanya, termasuk kaum difabel.
Kaum ini acap menghadapi hambatan sosial, persepsi negatif dan diskriminasi yang membuatnya dikecualikan dari pendidikan, lapangan kerja dan kehidupan sosial, sampai kehilangan kesempatan-kesempatan penting untuk sejahtera, sehat dan diterima secara sosial.
Ini karena, dalam kebanyakan masyarakat, masih ada anggapan penyandang disabilitas adalah kaum yang tak bisa berdiri sendiri.
Baca juga: Indonesia incar 105 emas demi juara umum ASEAN Para Games 2022
Stigma itu bisa pupus lewat olahraga karena olahraga memungkinkan mereka mengekspos keterampilannya sampai sikap dan persepsi awam mengenai penyandang disabilitas berubah baik karenanya.
Orang pun tak lagi melihat disabilitas dan keterbatasan pada mereka, melainkan kepada statusnya sebagai manusia pada umumnya.
Melalui olahraga, penyandang disabilitas berinteraksi dengan sesamanya dalam konteks positif yang membuat mereka mengubah asumsi awam mengenai apa yang bisa dan tak bisa mereka lakukan.
Lebih dalam dari itu, olahraga turut memberdayakan penyandang disabilitas dan membuat manusia lain menyadari potensi diri mereka.
Melalui olahraga, penyandang disabilitas memperoleh keterampilan sosial yang esensial untuk mereka dalam rangka mengembangkan kemandirian dan memberdayakan dirinya yang akhirnya bertindak sebagai agen-agen perubahan.
Olahraga mengajarkan mereka cara berkomunikasi yang efektif, pentingnya kerja tim serta kerja sama, dan respek kepada orang lain.
Semua itu membuat penyandang disabilitas menjadi lebih kuat secara fisik dan mental.
Platform mulia
Pemahaman-pemahaman itu baru menggejala beberapa dekade terakhir.
Namun ide memberi kesempatan sama kepada kaum difabel, sudah dirintis sejak lama oleh para pelaku olahraga ketika manusia membuat kompetisi khusus kaum difabel dalam apa yang disebut 'gerakan paralimpiade'.
Gerakan ini sendiri berpegang kepada empat nilai dasar kompetisi, yakni (1) tekad mendorong manusia mengerahkan kemampuan fisiknya sampai batas maksimal.
Kemudian, (2) kesetaraan bahwa kompetisi olahraga adalah agen perubahan dalam mendobrak hambatan yang menghadang penyandang disabilitas.
Lalu, (3) keberanian dalam berusaha mencapai apa yang dianggap awam sebagai hal yang berbatas, dan (4) inspirasi untuk dunia dan manusia lainnya.
Baca juga: Indonesia pastikan pembangunan inklusif bagi penyandang disabilitas
Intinya, Para Games menyalakan harapan, semangat juang dan membantu penyandang disabilitas menggapai impiannya, selain menjadi platform hebat dalam membuat mereka terlibat lebih jauh dalam masyarakat dan dalam mewujudkan impiannya sendiri.
Gerakan itu kian membesar dan mengilhami dunia dari masa ke masa, termasuk Asia Tenggara yang menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 memiliki sekitar 90 juta penyandang disabilitas.
Asia Tenggara memang baru dua dekade terakhir ini aktif dalam gerakan itu dengan menyelenggarakan ASEAN Para Games sejak 2001.
Tetapi yang sudah dilakukan ASEAN akan terus membesar dari waktu ke waktu, untuk tak saja memberdayakan penyandang disabilitas, namun juga untuk membuat masyarakat kawasan ini semakin menjunjung kesetaraan dan memajukan masyarakat yang inklusif.
Apa yang akan terjadi di Solo mulai akhir bulan ini sampai awal Agustus nanti, bisa semakin menegaskan bahwa ASEAN Para Games adalah platform hebat nan mulia dalam mengajak dan memberi tempat kepada penyandang disabilitas untuk bersama membangun masyarakat yang inklusif.
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Irwan Suhirwandi
Copyright © ANTARA 2022