Kondisi cuaca dan iklim harus diperhitungkan betul dalam setiap aktivitas pertanian
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggencarkan edukasi bagi para petani lewat program Sekolah Lapang Iklim, sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan nasional sekaligus mengantisipasi dampak perubahan iklim.
“SLI menjadi salah satu bentuk komitmen BMKG untuk turut berperan memperkuat ketahanan pangan nasional dan mewujudkan kedaulatan pangan, kesejahteraan petani dan juga nelayan," ungkap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu.
Dalam acara SLI Operasional di Dusun Marongan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Magelang, Jawa Tengah, Senin (11/7). Dwikorita menyebut petani menjadi kelompok paling rentan terdampak perubahan iklim.
Kejadian iklim ekstrem akan menyebabkan kegagalan panen dan tanam, yang berujung pada penurunan produktivitas dan produksi akibat banjir dan kekeringan, peningkatan suhu udara, dan intensitas serangan hama.
Dai juga menjelaskan ketika petani mengalami gagal panen, sambung dia, mereka akan mengalami kerugian yang besar. Tidak hanya berdampak terhadap individu petani tersebut, tapi juga produktivitas pertanian Indonesia secara keseluruhan dan mengancam ketahanan pangan nasional pun akan terancam.
"Secara sederhana, berkurangnya produksi akan mengakibatkan harga pangan menjadi lebih mahal. Kenaikan harga dapat berdampak pada akses, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan,” ujar Dwikorita.
Baca juga: Sekolah Lapang Iklim warnai Hari Meteorologi Dunia di lereng Sumbing
Baca juga: Petani dan nelayan kelompok paling terdampak fenomena perubahan iklim
SLI diharapkan mampu mendongkrak produktivitas pertanian dan memperkuat ketahanan pangan nasional. Sebab diketahui, petani umumnya telah memiliki kearifan lokal turun temurun mengenai cuaca.
Dwikorita menyebut bahwa cuaca dan iklim sangat berpengaruh terhadap pertanian dan juga perikanan. Di sektor pertanian, cuaca dan iklim berpengaruh terhadap jenis tanaman yang akan ditanam dan waktu tanam.
Begitu pula dengan sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap dimana cuaca dan iklim berpengaruh terhadap hasil tangkapan nelayan. Jika cuaca buruk dan terjadi gelombang tinggi, maka nelayan tidak bisa melaut dan hasil tangkapan dipastikan merosot.
"Kondisi cuaca dan iklim harus diperhitungkan betul dalam setiap aktivitas pertanian. Kekeringan yang ekstrem dan curah hujan yang tinggi dapat berdampak buruk pada hilangnya produktivitas tanaman," kata dia.
Sementara itu, dalam kesempatan tersebut Dwikorita juga menyampaikan bahwa SLI yang dilaksanakan di Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang telah menampakkan hasil nyata. Diketahui, hasil dari pengubinan komoditas sayuran onclang (daun bawang) menghasilkan sebanyak 61, 76 Ton/Hektar dengan usia tanaman sekitar 90 - 100 hari.
Hasil ini, kata Dwikorita, jauh lebih baik dan maksimal bila dibandingkan dengan hasil panen normal dalam kondisi cuaca/iklim terdampak anomali iklim La Nina dengan intensitas lemah dengan melihat mulai tanam pada akhir bulan Maret (30 Maret 2022) panen, dimana periode masuk musim kemarau yang cenderung basah.
“Berbagai kendala selama penanaman berupa hama dan penyakit seperti keong, ulat, jamur serta kabut tebal dengan kelembaban tinggi yang mengakibatkan pertumbuhan jamur yang amat intensif, dapat diatasi semua dengan Kerjasama petani, PPL dan juga BMKG,” kata dia.
Dwikorita menyatakan optimistisnya jika SLI semakin digencarkan maka produktivitas pertanian di Indonesia akan semakin meningkat. Dengan begitu mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi para petani yang notabene menjadi tulang punggung pangan nasional.
Baca juga: BMKG tingkatkan pemahaman tentang cuaca dan iklim lewat Sekolah Lapang
Baca juga: Konsepsi NTB gelar Sekolah Lapang Iklim di Sembalun Lombok Timur
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022