Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) lewat model konvensi menjadi langkah tepat kalau melihat dinamika yang berkembang.
"Menghadirkan PPHN dalam bentuk hukum Ketetapan MPR melalui konvensi ketatanegaraan menjadi langkah terobosan yang rasional," kata Bamsoet dalam keterangan di Jakarta Kamis.
Baca juga: Bamsoet sebut MPR berupaya wujudkan PPHN
Dia mengatakan bentuk hukum yang paling ideal adalah diatur dalam Ketetapan MPR, dengan melakukan perubahan terbatas terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Baca juga: Bamsoet sebut MPR berupaya wujudkan PPHN
Dia mengatakan bentuk hukum yang paling ideal adalah diatur dalam Ketetapan MPR, dengan melakukan perubahan terbatas terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Namun, kata dia melihat dinamika politik yang berkembang, perubahan terbatas UUD tersebut sulit untuk direalisasikan pada tahun ini, oleh karena itu menghadirkan lewat konvensi ketatanegaraan jadi langkah tepat.
Bambang Soesatyo mengatakan hakikat konvensi ketatanegaraan tergambar pada bagian penjelasan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebelum dilakukan perubahan (amendemen).
Menurutnya hal itu dinarasikan, Undang-undang Dasar suatu negara, ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar negara itu.
Kemudian, UUD ialah hukum dasar tertulis, sedang di sampingnya UUD itu, berlaku juga hukum yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.
Dalam konsepsi negara demokrasi, menurutnya penerapan konvensi ketatanegaraan merupakan hal yang lazim.
Kemudian, UUD ialah hukum dasar tertulis, sedang di sampingnya UUD itu, berlaku juga hukum yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.
Dalam konsepsi negara demokrasi, menurutnya penerapan konvensi ketatanegaraan merupakan hal yang lazim.
Konvensi ketatanegaraan hadir sebagai rujukan hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara, untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan kaidah-kaidah hukum perundang-undangan, atau hukum adat ketatanegaraan, serta mengisi kekosongan hukum formil yang baku.
"Di Indonesia, contoh konvensi ketatanegaraan adalah pidato tahunan presiden setiap 16 Agustus, yang tidak diatur dalam konstitusi, namun tetap dilakukan sejak zaman Orde Baru. Setelah menjadi konvensi, tradisi tersebut akhirnya diformalkan dalam Undang-undang MD3," ucapnya.
Baca juga: Ketua MPR: Pentingnya PPHN yang tak bisa gugur oleh "judicial review"
Baca juga: Ketua MPR: Pentingnya PPHN yang tak bisa gugur oleh "judicial review"
Demikian pula kata dia Sidang Tahunan MPR RI, yang penyelenggaraannya tidak diatur oleh konstitusi dan tidak diamanatkan undang-undang, namun mengingat urgensinya dapat diterima, dan menjadi konsensus bersama segenap lembaga negara, maka akhirnya menjadi konvensi ketatanegaraan.
Dia menjelaskan hingga kini Sidang Tahunan MPR RI telah menjadi konvensi ketatanegaraan yang terus terpelihara dengan baik. Dalam dinamikanya, kata Bamsoet ada harapan agar Sidang Tahunan MPR dapat diselenggarakan sesuai gagasan awal yang mendasarinya.
Yaitu, lanjut dia memfasilitasi setiap lembaga negara untuk menyampaikan laporan kinerjanya, dalam sebuah forum resmi nasional yang dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat dan disampaikan oleh masing-masing lembaga negara secara langsung.
"Sesuai hasil rapat konsultasi pimpinan MPR RI dengan berbagai pimpinan lembaga negara seperti DPD RI, MA, MK, BPK, dan KY yang dilakukan pada 2020 lalu, disepakati bahwa Sidang Tahunan MPR RI akan memfasilitasi para pimpinan lembaga negara menyampaikan laporan kinerjanya selama setahun terakhir kepada rakyat," kata dia.
Namun lanjut Bamsoet kesepakatan tersebut belum dapat terealisasi karena berbagai hal, salah satunya karena pandemi COVID-19 dan diharapkan pada tahun mendatang bisa terlaksana
Bamsoet menerangkan, munculnya gagasan menghadirkan PPHN dalam bentuk hukum Ketetapan MPR melalui mekanisme konvensi ketatanegaraan dan tanpa melalui perubahan konstitusi, membutuhkan kesepahaman dan konsensus bersama diantara delapan lembaga negara, yaitu MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, KY, dan lembaga Kepresidenan.
"Secara prinsip, seluruh fraksi dan kelompok DPD di MPR RI telah memiliki kesamaan pandangan tentang pentingnya menghadirkan PPHN sebagai road map pembangunan bangsa. Sehingga tidak ada proyek mangkrak, hanya karena adanya perbedaan orientasi dan visi pembangunan dari pemerintah yang sedang berkuasa," katanya.
Menurutnya PPHN yang menjadi acuan pembangunan jangka panjang, di samping harus memiliki kekuatan mengikat, juga harus memiliki kedudukan legalitas yang tepat.
Di satu sisi, kata Bamsoet tidak dalam bentuk undang-undang yang mudah digugat melalui judicial review ke MK, atau 'diterpedo' dengan PERPPU. Di sisi lain, lanjutnya tidak juga dalam bentuk pasal-pasal konstitusi yang akan sulit dilakukan perubahan, mengingat PPHN harus mampu menangkap dinamika zaman.
Baca juga: Pimpinan MPR temui Presiden sampaikan PPHN hadir tanpa amendemen UUD
Baca juga: Bamsoet: MPR telah miliki substansi PPHN
Baca juga: MPR: Rapat Gabungan sepakat bentuk panitia "ad hoc" PPHN
Baca juga: Pimpinan MPR temui Presiden sampaikan PPHN hadir tanpa amendemen UUD
Baca juga: Bamsoet: MPR telah miliki substansi PPHN
Baca juga: MPR: Rapat Gabungan sepakat bentuk panitia "ad hoc" PPHN
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2022