Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengapresiasi pertemuan Kemitraan Riset Sains dan Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan (SATREPS) yang memberi landasan pikir baru guna membangun kesiapsiagaan.
Pertemuan tersebut mengangkat tajuk besar Membangun Keberlanjutan Sistem untuk Resiliensi dan Inovasi Masyarakat Pesisir (BRICC).
Deputi Penanganan Darurat BNPB Mayjen TNI Fajar Setyawan mewakili Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto dalam pertemuan itu yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa, memandang riset tersebut akan memberikan landasan berpikir baru untuk bisa mempertajam kerangka kebijakan agar lebih terarah, tepat sasaran, dan mampu menggali nilai-nilai ketangguhan lokal yang mengakar di masyarakat untuk bisa dijadikan sandingan dalam implementasi teknologi berbasis komunitas seperti yang disampaikan dalam GPDRR 2022.
"Sebagaimana tertulis dalam agenda Bali for Resillient, 'Resilient is nothing about us, without us,' semua institusi masyarakat, baik peneliti, pemerintah, pihak swasta, media maupun masyarakat harus terlibat dalam pembangunan kesiapsiagaan menuju resiliensi yang berkelanjutan," ujar Fajar.
Baca juga: BMKG harapkan pengembangan kompetensi dalam pertemuan SATREPS-BICC
Dalam acara tersebut dijelaskan BNPB mencatat penambahan dan kenaikan jumlah kejadian bencana dalam lima tahun terakhir, sebanyak 2.306 kejadian bencana pada tahun 2016 meningkat signifikan hampir 100 persen menjadi 5,402 pada tahun 2021.
Kumulatif kejadian bencana dalam lima tahun terakhir mencapai 17.302 kejadian, di mana 98 persen dari kejadian tersebut adalah bencana hidrometeorologi yang didominasi oleh banjir, longsor, dan cuaca ekstrem.
Namun, bencana geologi menjadi penyumbang jumlah korban jiwa dan kerusakan infrastruktur paling besar. Tahun 2018 ketika bencana tsunami Palu dan tsunami Krakatau terjadi, Indonesia menjadi negara dengan korban jiwa akibat bencana paling tinggi di dunia dalam satu tahun.
"Artinya kesiapsiagaan terhadap bencana yang jarang terjadi harus dibangun dan harus menjadi bagian dari kebiasaan serta norma dalam komunitas, sehingga keberlanjutannya bisa dipertahankan," ujar Fajar.
Baca juga: BNPB: Kolaborasi dan kesiapsiagaan kunci kurangi kehancuran bencana RI
Untuk jenis bencana yang selalu terjadi setiap tahun seperti banjir, kata dia, kesiapsiagaan masyarakat bisa terbangun dalam bentuk adaptasi dan modal sosial berbasis komunitas. Akan
tetapi untuk kejadian bencana yang memiliki periode ulang lebih dari 50 tahun, cerita tentang kejadian bencana terkadang tidak tersampaikan terhadap generasi berikutnya sehingga kesiapsiagaan tidak terbangun dan fatalitas selalu terjadi.
Hal ini khususnya menjadi perhatian pada kejadian bencana gempa, tsunami, dan letusan gunung api di mana urbanisasi dan pergantian generasi biasanya tidak sejalan dengan pembangunan kesiapsiagaan yang berkelanjutan.
"Inilah yang menjadi tantangannya bagaimana bisa membuat upaya-upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bisa berkelanjutan lintas generasi dan terserap dalam nilai norma serta budaya masyarakat di tingkat lokal," ujar Fajar.
Kick-off meeting Kemitraan Riset Sains dan Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan (SATREPS), Membangun Keberlanjutan Sistem untuk Resiliensi dan Inovasi Masyarakat Pesisir (BRICC) diselenggarakan pada Selasa.
Baca juga: BNPB: HKB ikhtiar bangun bangsa berbasis pengurangan risiko bencana
Acara tersebut menghadirkan sejumlah ilmuwan dan peneliti dari lembaga dan universitas di Jepang, serta kementerian/lembaga dan universitas di Indonesia.
Adapun yang menjadi perhatian dalam proyek ini adalah pemantauan kawasan pesisir, asesmen multibahaya, solusi berbasis alam atau Eco-Disaster Risk Reduction (DRR), dan membangun platform terintegrasi untuk teknologi.
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022