"Banyak yang beranggapan bahwa depresi, gangguan jiwa, pasti kurang iman, kurang bersyukur. Ini sebenarnya mitos, karena gangguan jiwa itu penyakit, sama seperti penyakit fisik. Semua bisa kena termasuk dokter, tenaga medis, pemuka agama juga," kata Zulvia dalam acara bincang-bincang mengenai kesehatan mental yang digelar daring diikuti di Jakarta, Jumat.
Dokter yang merupakan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) itu menjelaskan bahwa saat menghadapi tekanan atau stres, setiap orang memiliki mekanisme coping yang berbeda. Ada orang yang memilih tidur, ada juga yang memilih makan, belanja, jalan-jalan, dan beribadah.
Oleh karena itu, menurut dia, kebanyakan orang menganggap bahwa orang yang mengalami masalah kesehatan mental adalah orang yang kurang ibadah. Alih-alih menyarankan ke psikiater, mereka akan lebih menyarankan untuk memperbanyak ibadah.
Baca juga: Praktisi: Nakes rentan alami gangguan psikologis akibat COVID-19
"Ibadah, doa, itu meredakan stres, tapi bukan satu-satunya cara. Memang ada studinya kalau kita sering merasa bersyukur setiap bangun pagi, menghirup udara segar, itu meningkatkan kesehatan mental. Tapi bukan berarti orang yang enggak bersyukur pasti gangguan, karena tadi, konsepnya adalah penyakit," jelas Zulvia.
Ia juga menjelaskan, ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa, yakni faktor biologis, psikologis, dan sosial.
Menurut dia, faktor biologis bisa berasal dari genetik. Jika dia memiliki anggota keluarga yang memiliki riwayat gangguan jiwa, maka tidak menutup kemungkinan bahwa dia juga berisiko mengalami hal yang sama.
"Selain itu juga bisa jadi ada perubahan pada cara kerja otaknya," tambahnya.
Sementara itu, faktor psikologis bisa berasal dari pola pengasuhan yang dia terima hingga ada atau tidaknya riwayat trauma hingga perundungan. Sedangkan faktor sosial bisa berasal dari kondisi yang dia alami seperti PHK, putus cinta, hingga masalah rumah tangga.
Karena gangguan jiwa merupakan penyakit, Zulvia pun mengatakan bahwa orang yang mengalaminya tentu harus mendapatkan pengobatan dari dokter.
"Ini sama kayak orang sakit tifus, TBC, enggak cuma ibadah lalu sakitnya sembuh. Kan tetap harus diobati, terus berdoa. Sama, gangguan jiwa begitu. Berobat juga dan beribadahlah silakan untuk melengkapi pendekatan terhadap penyakit," katanya.
"Ketika seseorang berobat sejak dini, jadi jangan ditunda-tunda, dia bisa tetap berfungsi dengan baik. Tetap kece, tetap bisa kerja, tetap aktif, enggak kelihatan punya masalah gangguan mental," imbuhnya.
Baca juga: Psikiater: Penggunaan narkotika termasuk kategori gangguan mental
Baca juga: Psikiatri: Deteksi dini cegah gangguan kesehatan jiwa semakin memburuk
Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022