"Isu ini menjadi penting karena beberapa kejadian terakhir menjadi isu yang sangat urgen, karena terkait kasus gagal ginjal akut yang terkait dengan beberapa obat," kata Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas sebelum memulai rapat di Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa.
Selaku pimpinan rapat, Supratman mempersilakan Komisi IX DPR RI selaku pengusul RUU tersebut untuk memberikan penjelasan tentang urgensi, substansi, dan hal-hal pokok lain terkait draf RUU POM yang telah diterima Baleg DPR RI pada 3 Oktober lalu.
"Nanti kami juga akan mengundang stakeholder yang terkait dengan ini untuk kita melakukan kegiatan pengharmonisasian," tambahnya.
Andi juga mengingatkan agar harmonisasi RUU POM tersebut dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).
"Nanti kaitannya dengan bagaimana peran Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen persinggungannya di mana nanti, terutama menyangkut soal hak orang-orang yang terkait dengan penggunaan obat dan makanan," jelas Supratman.
Baca juga: Komisi IX DPR targetkan RUU POM rampung Oktober
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh mengatakan pihaknya pada periode ini telah melakukan pendalaman terhadap RUU POM yang merupakan bawaan dari periode 2014-2019 bersama sejumlah narasumber maupun ahli di bidang terkait.
"Kami juga sudah melakukan adjustment juga RUU ini dengan Undang-Undang Omnibus Law, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan undang-undang lainnya," kata Nihayatul.
Perempuan yang akrab disapa Ninik itu menjelaskan jangkauan pengaturan RUU POM meliputi pengawasan terhadap obat, bahan obat, obat bahan alam, obat kuasi, ekstrak bahan alam, suplemen kesehatan, kosmetik, serta bahan olahan.
Lebih lanjut, Ninik mengatakan pengawasan terhadap obat dan makanan yang diatur dalam RUU tersebut mulai dari proses pembuatan atau produksi hingga distribusi ke konsumen, yang harus memenuhi standar dan persyaratan pengawasan obat dan makanan.
Pengawasan itu tidak hanya menjangkau obat dan makanan yang diproduksi di dalam negeri, tetapi juga obat dan makanan yang diekspor maupun diimpor.
"Jadi, juga ada kaitannya dengan kementerian lain karena jangkauannya juga soal ekspor, impor; ada di kementerian yang lain, tidak dalam jangkauan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan," kata Ninik.
Baca juga: RUU POM perkuat peran BPOM dalam pengawasan obat dan makanan
Selain pengawasan terhadap produk obat dan makanan, RUU tersebut mengatur pula pengawasan terhadap fasilitas produksi, distribusi dan pelayanan, dan/atau penyerahan yang dilakukan oleh tenaga pengawas.
"Selain tenaga pengawas, dilibatkan pula penyidik pegawai negeri sipil yang berada di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan," tambahnya.
Ninik mengatakan RUU POM mengatur pula sanksi administratif maupun sanksi pidana bagi setiap orang yang memproduksi obat dan makanan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan, meliputi keamanan, khasiat atau manfaat, mutu dan gizi. RUU POM terdiri atas 19 bab dan 127 pasal yang dihasilkan setelah melalui pembahasan oleh tim perumus dan tim sinkronisasi.
"Selanjutnya, Komisi IX siap bekerja sama dengan Badan Legislasi untuk melewati tahapan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU tersebut," kata Ninik.
Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR RI Muhammad Nurdin mengatakan pihaknya berencana membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU POM yang diketuai oleh salah satu pimpinan Baleg DPR.
"Penjelasan dan masukan atau pandangan yang telah disampaikan pengusul RUU dan anggota badan akan menjadi bahan masukan dalam pengharmonisasian," tambahnya.
Dia juga berharap setelah RUU tersebut sah menjadi undang-undang, keberadaan BPOM di tiap kabupaten dapat terakomodasi, di mana saat ini baru ada 40 BPOM di kabupaten dan kota seluruh Indonesia.
"Jadi, nanti di undang-undang diharuskan ada Badan Pengawas Obat dan Makanan di tiap-tiap kabupaten," ujar Muhammad Nurdin.
Baca juga: YLKI optimistis UU POM maksimalkan kewenangan Badan POM
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022