Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan saat ini belum ada industri farmasi dalam negeri yang siap untuk mengolah plasma darah menjadi produk derivat plasma, baik dari sisi bisnis maupun teknologi yang akan digunakan.Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar berpotensi untuk dapat menghasilkan plasma darah yang kemudian dapat diolah menjadi produk derivat plasma
Kepala BPOM Penny K Lukito menyatakan bahwa Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar berpotensi untuk dapat menghasilkan plasma darah yang kemudian dapat diolah menjadi produk derivat plasma.
"Kondisi saat ini menunjukkan bahwa fasilitas fraksionasi plasma membutuhkan investasi yang sangat besar, namun tidak profitable, mengingat plasma darah tidak untuk dikomersialisasi," ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Untuk itu, lanjutnya, perlu diberikan dukungan dan intervensi pemerintah dalam mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi unit transfusi darah (UTD) dan industri farmasi yang akan mengembangkan industri fraksionasi plasma.
Plasma darah merupakan komponen terbanyak dari darah manusia dengan kandungan penting, salah satunya protein dan antibodi yang berfungsi mengobati masalah kesehatan serius, serta menjadi terapi untuk kondisi kronis yang langka, termasuk gangguan autoimun dan hemofilia.
Kandungan plasma darah yang digunakan dalam pengobatan/terapi tersebut diperoleh melalui proses pengolahan yang sangat spesifik, begitu pula metode uji yang digunakan. Hasil dari proses pengolahan tersebut menghasilkan sediaan farmasi yang disebut sebagai produk derivat plasma atau plasma derivated medicinal products (PDMP).
Menurut dia, pengembangan fasilitas fraksionasi plasma, sebagai penopang kemandirian produk darah dalam negeri, perlu mendapat perhatian khusus.
Seluruh produk derivat plasma yang digunakan di Indonesia saat ini, dirasakan semakin meningkat kebutuhannya dan merupakan produk impor dengan harga yang tinggi.
BPOM menginisiasi "Forum Lintas Sektor Pengembangan Industri Fraksionasi Plasma Dalam Rangka Mewujudkan Kemandirian Produk Darah Dalam Negeri" pada 21 November 2022.
Melalui forum ini, BPOM mengupayakan adanya peningkatan koordinasi dan komitmen antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, Palang Merah Indonesia (PMI), rumah sakit, dan industri farmasi agar dapat memfasilitasi terkait regulasi, sumber daya, maupun ketersediaan dan kesiapan teknologi untuk percepatan pengembangan industri fraksionasi plasma dalam negeri.
Sementara itu, untuk mencapai kemandirian produk darah dalam negeri, Penny menyatakan, diperlukan bahan baku plasma yang berasal dari UTD yang telah tersertifikasi cara pembuatan obat yang baik (CPOB).
Saat ini, terdapat 19 UTD yang memperoleh sertifikat CPOB, yaitu 18 UTD PMI dan satu UTD rumah sakit.
BPOM terus berupaya mendukung penyiapan fasilitas UTD yang tersertifikasi CPOB untuk menjamin mutu plasma darah dan dapat memenuhi kecukupan serta kontuinitas kebutuhan bahan baku plasma tersebut.
Dikatakannya, sinergi berkelanjutan antara kementerian/lembaga, serta kolaborasi academia, business, government, and community (ABGC) diharapkan dapat memberikan masukan dalam mewujudkan fasilitas produksi produk derivat plasma dalam negeri yang aman, berkhasiat, bermutu, dan berdaya saing di pasar internasional.
Baca juga: PMI dan BPOM kerja sama dukung industri fraksionasi plasma
Baca juga: BPOM inisiasi forum lintas sektor untuk industri fraksionasi plasma
Baca juga: BPOM umumkan 168 produk obat sirop yang dinyatakan aman
Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022