Indonesia menduduki posisi tiga terbawah di Asia Pasifik
The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) meminta penanganan infeksi HIV/AIDS yang dilakukan oleh pemerintah saat ini untuk difokuskan pada anak-anak dan perempuan sebagai kelompok yang paling rawan.
“Penguatan multi sektoral menjadi penting untuk dilakukan agar mendapatkan dukungan yang cukup untuk program HIV. Negara juga harus prioritaskan pembiayaan program HIV. Saya yakin bahwa kita semua dapat akhiri AIDS pada 2030,” kata Country Director UNAIDS Indonesia Krittayawan Boonto dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan data epidemiologi UNAIDS, Krittayawan menuturkan sampai dengan tahun 2021 jumlah orang yang positif HIV sudah mencapai 38,4 juta jiwa. Di mana dalam situasi epidemi pada kelompok perempuan dan anak menunjukkan angka yang memprihatinkan.
Terdapat sekitar 543.100 orang yang hidup dengan HIV dengan estimasi 27 ribu kasus infeksi baru di tahun 2021. Dengan rincian 40 persen kasus infeksi baru terjadi pada perempuan, sementara lebih dari 51 persennya terjadi pada kelompok remaja berusia 15-24 tahun.
Sedangkan 12 persen infeksi baru lainnya terjadi pada anak. Meski demikian, hanya 28 persen pasien yang baru menerima pengobatan ARV.
Baca juga: 38 juta orang di dunia hidup dengan HIV menurut UNAIDS
Baca juga: Kemenkes: Sebanyak 12.553 anak usia di bawah 14 tahun terinfeksi HIV
“Makanya, Indonesia menduduki posisi tiga terbawah di Asia Pasifik untuk cakupan pengobatan ARV bersama dengan Pakistan dan Afghanistan,” katanya.
Krittayawan menyatakan perempuan dan anak dengan HIV merupakan populasi kunci yang seharusnya menjadi prioritas untuk mengakhiri epidemi AIDS. Sayangnya, mereka masih menghadapi berbagai tantangan untuk melakukan pengobatan.
Hampir setengah dari kasus infeksi HIV baru pada anak, dipastikan berasal dari Ibu yang tidak menerima terapi ARV. Hal lain yang menyebabkan kasus semakin tinggi adalah banyak ibu menghentikan terapi selama masa hamil dan menyusui dan hambatan hukum yang mempersulit para ibu melakukan tes HIV ataupun memulai terapi ARV sebelum hamil.
Bahkan ibu hamil dan menyusui beralasan untuk menghentikan terapi karena adanya keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan, hingga stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitar serta hoaks efek samping obat.
Sementara pada anak dan remaja, keterbatasan obat khusus anak dan hambatan hukum seperti kebijakan persyaratan usia jadi alasan sulitnya mendapatkan pengobatan. Minimnya pengetahuan mengenai HIV serta kesehatan seksual dan reproduksi, stigma masyarakat dan kurangnya dukungan keluarga semakin menyulitkan mereka untuk bisa mengakses antiretroviral therapy (ART).
Oleh karenanya, dirinya meminta supaya pemerintah mulai memfokuskan sasaran sembari memperkuat kolaborasi dan kerja sama antara pihak-pihak terkait untuk menanggulangi masalah HIV/AIDS di Indonesia.
“Untuk merealisasikan epidemi AIDS pada 2030, semua orang harus meningkatkan upaya pencegahan. Semua orang dengan hasil tes positif harus segera menjalani treatment ARV, semua orang yang sedang menjalani pengobatan harus disiplin untuk mencapai viraload tersupresi,” ujarnya.
Baca juga: UNICEF: 110 ribu anak dan remaja meninggal karena AIDS tahun lalu
Baca juga: Dokter: Anak dengan HIV bisa tumbuh normal dengan konsumsi ARV
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022