Dokter spesialis anak dari RSAB Harapan Kita dr. Dwinanda Aidina, Sp.A(K) mengatakan anak yang terinfeksi virus HIV dapat semakin memperparah sistem kekebalan tubuhnya sehingga biasanya langsung diikuti dengan kemunculan gejala yang berat.pada anak biasanya yang terdiagnosis awal penyakitnya berat,
“Anak-anak sendiri, kita tahu, dia kan sudah memang golongan usianya lebih rentan terhadap infeksi ditambah dia terinfeksi virus (HIV) yang makin memperparah kekebalan tubuhnya. Jadi biasanya kalau anak-anak yang terinfeksi HIV ini gejalanya langsung berat,” kata Dwinanda dalam bincang virtual Radio Kesehatan Kementerian Kesehatan yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan kondisi tersebut berbeda dibanding dengan orang dewasa yang terinfeksi HIV. Pada orang dewasa, kata Dwinanda, malah terkadang tidak muncul gejala ketika terinfeksi HIV. Hal tersebut terjadi karena sistem kekebalan tubuh orang dewasa sudah lebih matang sehingga sel CD4-nya belum terlalu turun, bahkan 5-10 tahun baru menunjukkan gejala berat.
“Kalau pada anak biasanya yang terdiagnosis awal penyakitnya berat, imunosupresi-nya sangat berat rata-rata,” ujar Dwinanda.
Gejala berat yang dialami anak dengan HIV misalnya demam berkepanjangan, berat badan yang sulit naik yang dapat berujung menjadi gizi buruk, diare yang tak kunjung sembuh, hingga infeksi oportunistik seperti TBC, infeksi paru yang berat, atau infeksi jamur yang berat.
Baca juga: Dokter sebut transmisi HIV pada anak melalui ASI berisiko lebih tinggi
Baca juga: Kemenkes perkuat penapisan ibu hamil cegah HIV tulari anak-anak
Dwinanda menjelaskan penularan HIV dapat terjadi melalui dua cara yaitu penularan horinzontal atau antar-manusia dan vertikal atau melalui kelahiran dari ibu yang positif HIV. Pada anak penularan HIV dapat terjadi terutama melalui cara vertikal.
Apabila anak sudah terinfeksi HIV, Dwinanda mengatakan pengobatannya tidak jauh berbeda dengan orang dewasa yaitu melalui terapi antiretroviral (ARV), namun memiliki beberapa batasan. Sebagai contoh, hanya ARV jenis tertentu yang bisa diberikan jika anak berusia di bawah 3 tahun atau anak dengan berat badan minimal tertentu.
“Jadi memang pada anak ada ARV-nya tetapi mungkin lebih terbatas dibanding yang dewasa, tetapi ada obat ARV-nya. Dan tentunya kita berikan sesuai kebutuhan si anak tersebut. Dan sambil kita mengobati infeksi oportunistik lainnya misalnya kita tangani dulu TBC-nya, kita tangani dulu infeksi jamurnya,” kata dia.
Baca juga: UNAIDS minta penanganan HIV difokuskan pada anak dan perempuan
Dwinanda menjelaskan penularan HIV dapat terjadi melalui dua cara yaitu penularan horinzontal atau antar-manusia dan vertikal atau melalui kelahiran dari ibu yang positif HIV. Pada anak penularan HIV dapat terjadi terutama melalui cara vertikal.
Apabila anak sudah terinfeksi HIV, Dwinanda mengatakan pengobatannya tidak jauh berbeda dengan orang dewasa yaitu melalui terapi antiretroviral (ARV), namun memiliki beberapa batasan. Sebagai contoh, hanya ARV jenis tertentu yang bisa diberikan jika anak berusia di bawah 3 tahun atau anak dengan berat badan minimal tertentu.
“Jadi memang pada anak ada ARV-nya tetapi mungkin lebih terbatas dibanding yang dewasa, tetapi ada obat ARV-nya. Dan tentunya kita berikan sesuai kebutuhan si anak tersebut. Dan sambil kita mengobati infeksi oportunistik lainnya misalnya kita tangani dulu TBC-nya, kita tangani dulu infeksi jamurnya,” kata dia.
Baca juga: UNAIDS minta penanganan HIV difokuskan pada anak dan perempuan
Baca juga: Kemenkes: Sebanyak 12.553 anak usia di bawah 14 tahun terinfeksi HIV
Yang harus diingat oleh orang tua dan pengasuh, imbuh Dwinanda, pemberian ARV pada anak harus komitmen dilakukan seumur hidup. Apabila putus obat, maka dikhawatirkan terjadi kondisi resistensi terhadap ARV.
“Karena kalau sudah putus obat, ada risiko resisten. Artinya virusnya sudah tidak mempan lagi sama ARV yang sudah diberikan. Dan ARV pada anak terbatas. Jadi kalau sudah resisten akan susah nanti cari penggantinya. Jadi harus benar-benar komitmen untuk memberikan ARV ini pada anak,” kata dia.
Menurut Dwinanda, merawat anak dengan HIV diperlukan berbagai persiapan termasuk komitmen untuk kontrol rutin hingga menyiapkan bagaimana cara untuk memberi tahu status HIV pada anak ketika telah di usia tertentu. Selain itu, bila perlu, orang tua disarankan untuk mencari pertolongan dari tenaga medis misalnya dokter anak, perawat, atau tenaga psikolog kesehatan.
“Tentu pasti orang tua kalau anaknya HIV kan mungkin ada denial atau stres atau mungkin rasa bersalah. Kita mungkin tidak bisa kontrol apa yang sudah terjadi, tapi kita bisa memikirkan apa yang kita bisa lakukan sekarang,” kata Dwinanda.
Baca juga: UNICEF: 110 ribu anak dan remaja meninggal karena AIDS tahun lalu
Yang harus diingat oleh orang tua dan pengasuh, imbuh Dwinanda, pemberian ARV pada anak harus komitmen dilakukan seumur hidup. Apabila putus obat, maka dikhawatirkan terjadi kondisi resistensi terhadap ARV.
“Karena kalau sudah putus obat, ada risiko resisten. Artinya virusnya sudah tidak mempan lagi sama ARV yang sudah diberikan. Dan ARV pada anak terbatas. Jadi kalau sudah resisten akan susah nanti cari penggantinya. Jadi harus benar-benar komitmen untuk memberikan ARV ini pada anak,” kata dia.
Menurut Dwinanda, merawat anak dengan HIV diperlukan berbagai persiapan termasuk komitmen untuk kontrol rutin hingga menyiapkan bagaimana cara untuk memberi tahu status HIV pada anak ketika telah di usia tertentu. Selain itu, bila perlu, orang tua disarankan untuk mencari pertolongan dari tenaga medis misalnya dokter anak, perawat, atau tenaga psikolog kesehatan.
“Tentu pasti orang tua kalau anaknya HIV kan mungkin ada denial atau stres atau mungkin rasa bersalah. Kita mungkin tidak bisa kontrol apa yang sudah terjadi, tapi kita bisa memikirkan apa yang kita bisa lakukan sekarang,” kata Dwinanda.
Baca juga: UNICEF: 110 ribu anak dan remaja meninggal karena AIDS tahun lalu
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022