Pertama, Korea Selatan pada Piala Dunia 2002. Kedua, Maroko dua puluh tahun kemudian dalam Piala Dunia Qatar 2022 ini.
Kedua tim tampil mengesankan sebelum mencapai babak empat besar.
Kalau Korea Selatan menjungkalkan Portugal pada fase grup dan kemudian menggulingkan Italia dalam 16 besar dan lalu melibas Spanyol dalam perempatfinal, maka prestasi Maroko tak kalah angkernya.
Sama dengan Korea Selatan pada 2002 yang masuk fase knockout dengan memuncaki grupnya, Maroko juga begitu.
Mereka tak terkalahkan selama fase grup dan bahkan menumbangkan peringkat dua dunia Belgia untuk memuncaki Grup F.
Perjalanan mereka makin menawan setelah membungkam Spanyol yang merupakan semifinalis Euro 2020 dan juara dunia 2010 dalam 16 besar, sebelum menundukkan Portugal dalam perempat final.
Baca juga: Maroko melaju ke semifinal usai kalahkan Portugal 1-0
Pertarungan mereka dengan juara bertahan Prancis juga sekelas pertandingan antara dua tim yang sudah terbiasa tampil dalam atmosfer puncak sebuah turnamen kelas dunia.
Maroko malah lebih mengendalikan lalu lintas bola ketimbang lawannya yang selain mencapai final Piala Dunia dua kali berturut-turut namun juga tengah berusaha menyamai Brazil enam puluh tahun silam sebagai tim yang sukses mempertahankan gelar juara dunia.
Mereka tidak kalah dari Prancis dalam menciptakan peluang tetapi harus diakui Les Bleus lebih klinis dari mereka di mana kedua upaya tepat sasarannya berbuah gol.
Dengan komposisi pemain yang rata-rata atletis dan tampil menawan baik saat bersama bola maupun tidak, Maroko membuat Prancis seolah bertanding melawan Jerman atau Italia atau tim-tim eks juara Piala Dunia lainnya.
Pemain-pemain Maroko sama sekali tidak canggung dan merasa inferior, padahal ini babak tertinggi pertama mereka dan lawan yang dihadapinya pun juara dunia yang di dalamnya dipenuhi bintang-bintang sepak bola yang bermain untuk klub-klub terbesar nan termasyur di dunia.
Baca juga: Maroko sambut pahlawan mereka meski final Piala Dunia tinggal mimpi
Selanjutnya: Percaya diri
Percaya diri
Biasanya menghadapi lawan yang memiliki lini serang semaut dan seekplosif Prancis di mana kuartet Kylian Mbappe, Antoine Grizzmann, Osmane Dembele dan Olivier Giroud sungguh menjadi penebar teror di daerah pertahanan lawan, tim-tim cenderung memasang tiga bek tengah.
Awalnya Maroko juga memasang tiga bek tengah.
Tetapi setelah gawang mereka dibobol Theo Hernandez dan kemudian harus merelakan kapten Romain Saiss pergi meninggalkan lapangan karena cedera jauh sebelum babak kedua usai, pelatih Walid Regragui meninggalkan formasi defensif itu dengan menggantikannya dengan formasi ofensif 4-3-3 seperti dipasang lawannya, Prancis.
Segera setelah itu mereka nyaris menyamakan kedudukan ketika tendangan salto bek Jawad El Yamiq membentur tiang gawang ketika kiper Prancis Hugo Lloris sudah mati langkah.
Andai Maroko tidak dibelit masalah cedera, termasuk bek kiri Bayern Muenchen Noussair Mazraoui yang mesti diganti pada babak kedua karena cedera, mungkin akhir pertarungan antara dua negara yang memiliki ikatan sejarah dan budaya teramat kuat itu akan lain ceritanya.
Seperti sudah dilakukan Inggris dalam perempat final, Maroko berhasil menjinakkan Kylian Mbappe si bomber yang piawai memanfaatkan sekecil apa pun peluang untuk menusuk lewat sprint-nya yang tak ada duanya.
Mbappe berhasil diimbangi salah satunya oleh sahabatnya sendiri yang sama-sama pemain Paris Saint Germain, Achraf Hakimi.
Tahu ajimatnya dibidik seperti Inggris dalam perempat final, pelatih Didier Deschamps menarik Giroud dan menukarnya dengan Marcus Thuram yang posisi alaminya memang di sayap kiri serangan.
Baca juga: Puja-puji Deschamps untuk Giroud, pencetak gol terbanyak Prancis
Perubahan ini membuat Mbappe bergeser ke tengah tepat di depan Griezmann.
Perubahan ini berhasil. Dari sini pula pertahanan Maroko yang sudah keropos oleh rangkaian cedera tetapi tetap dengan penuh wira meladeni lawannya sampai detik terakhir, kebobolan untuk kedua kalinya.
Mbappe menusuk setelah dikirimi bola oleh Thuram untuk kemudian mengumpan Randal Kolo Muani yang menceploskan bola ke gawang lebih cepat dari reaksi penjaga gawang Maroko Yassine Bounou.
Bahkan dalam keadaan terdesak dan tertinggal 0-2 Maroko tak mengendurkan tekanan. Singa Atlas ini sungguh bertarung bagaikan singa lapar yang pantang menyerah sebelum peluit panjang dibunyikan wasit.
Itu pula salah satu etos mereka yang membuat mereka dikagumi banyak orang, selain juga kepercayaan diri mereka yang tinggi, sekalipun teknik dan keterampilan bermain mereka tak jauh berbeda dari tim-tim mapan Eropa dan Amerika Selatan.
Ini bukan sentimen karena sesama negara dunia ketiga, tetapi lebih karena level teramat bagus apa yang telah diperagakan Maroko selama turnamen yang berlangsung di Qatar sampai 18 Desember nanti itu.
Kalau Korea Selatan pada 2002 melakukan semuanya di tanah airnya sendiri dan dilatih oleh seorang yang bukan orang Korea, Guus Hiddink, maka Maroko melakukan kebalikan yang dilakukan Korea Selatan.
Maroko nyaris ke final walau tampil jauh dari tanah airnya dan dilatih oleh Walid Regrarui yang walau dilahirkan di Prancis adalah juga warga mereka sendiri. Seperti banyak warga Maroko lainnya, Regrarui berdwikewarganegaraan Maroko-Prancis.
Jika disimak lebih dalam pemilihan Regrarui adalah juga bentuk kepercayaan diri.
Pada banyak hal sepak bola sering bukan semata teknik dan keterampilan, tetapi juga soal kepercayaan diri, dan tentunya etos kerja dan dedikasi. Aspek inilah yang ditunjukkan oleh hampir seluruh skuad Maroko, termasuk Regrarui.
Baca juga: Regragui bangga upaya gigih Maroko walau kalah di semifinal
Selanjutnya: Teladan Sofyan Amrabat
Teladan Sofyan Amrabat
Di antara mereka bahkan ada yang memiliki etos kerja lebih dibandingkan dengan yang lainnya, salah satunya gelandang Sofyan Amrabat yang sehari-hari membela klub Fiorentina di Serie A Italia.
Amrabat dianggap sebagai role model atau teladan untuk kaum muda karena etos kerjanya yang tak mengenal lelah dan dedikasinya yang tinggi di lapangan.
Inilah pemain yang memiliki total jelajah lari paling jauh dalam skuad Maroko.
Total jelajah lari gelandang ini sepanjang turnamen ini adalah 70,58 km.
Angka itu jauh di atas jelajah lari Rodrigo de Paul yang menjadi pemain Argentina paling aktif menjelajahi lapangan dengan jangkauan lari total 61,03 km.
Angka Amrabat juga jauh di atas pemain Prancis yang memiliki jangkauan berlari paling jauh, yakni Aurelien Tchouameni, dengan 63,4 km.
Si ulet berusia 26 tahun yang musim ini sudah diganjar sembilan kartu kuning di Serie A adalah lokomotif Singa Atlas selama perjalanan heroik nan bersejarah mereka dalam Piala Dunia pertama yang diadakan pada musim dingin ini.
Dia bahkan sempat seorang diri menjinakkan Kylian Mbappe dengan tekelnya, padahal superstar Paris Saint Germain ini sungguh sulit dihentikan oleh jangankan satu pemain karena oleh lebih dari satu pemain, Mbappe ini tetap bisa merangsek mengancam gawang lawan.
Baca juga: Pelatih timnas Polandia sebut Mbappe akan jadi pemain terbaik dunia
Mantan bek timnas Inggris, Stuart Pearce, pun menyebut semangat, energi, dan kepemimpinan Amrabat menjadi aspek yang tidak ditemui dari skuad Prancis.
Amrabat adalah personifikasi Maroko secara keseluruhan bahwa sepak bola juga berkaitan dengan kepercayaan diri, keberanian, pantang menyerah, dan dedikasi.
Tanpa itu semua, teknik dan keterampilan tak ada apa-apanya. Sebaliknya dengan itu semua, sebelas orang yang berada di lapangan hijau menjadi bahu membahu bermain dalam satu kesatuan, dalam satu kelompok, dalam satu tim, menjadi satu kesatuan yang teguh.
Inilah mungkin salah satu pelajaran terpenting dari apa yang sudah dilakukan Maroko sejauh ini. Ini pula alasan Maroko mengapa pantas dimuliakan oleh tak saja rakyat dan raja Maroko tetapi juga dunia.
Baca juga: Maroko sambut pahlawan mereka meski final Piala Dunia tinggal mimpi
Baca juga: Semifinal Piala Dunia, penjelajahan Singa Atlas nan bersejarah
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2022