Sebuah penelitian baru yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Network Open menemukan bahwa bayi laki-laki berisiko menderita gangguan perkembangan saraf ketika ibunya tertular virus COVID-19 selama kehamilan.
Dilaporkan Medical Daily beberapa waktu lalu, studi tersebut mengeksplorasi risiko gangguan perkembangan saraf antara anak perempuan dan laki-laki dari ibu dengan infeksi SARS-CoV-2 selama kehamilan.
Tim peneliti ingin menentukan apakah keturunan laki-laki atau perempuan memiliki risiko lebih besar mengalami gangguan otak saat terpapar virus di dalam plasenta.
Baca juga: Menyiapkan vaksinasi COVID-19 untuk ibu hamil
Tim menganalisis data dari 18.355 bayi yang lahir setelah Februari 2020 dari ibu yang dites positif COVID-19 melalui tes reaksi berantai polimerase.
Penelitian baru yang dipimpin oleh para peneliti di Rumah Sakit Umum Massachusetts (MGH) Amerika Serikat, menemukan bahwa bayi laki-laki lebih mungkin menerima diagnosis gangguan perkembangan saraf dalam 12 bulan pertama setelah lahir daripada perempuan.
“Temuan ini menunjukkan bahwa anak laki-laki yang terpapar SARS-CoV-2 di dalam rahim mungkin berisiko lebih tinggi mengalami gangguan perkembangan saraf,” tulis mereka.
Setelah memperhitungkan ras, etnis, usia ibu, status prematur, dan faktor lainnya, tim menemukan bahwa riwayat positif COVID-19 ibu dikaitkan dengan kemungkinan diagnosis perkembangan saraf hampir dua kali lipat lebih tinggi pada bayi laki-laki pada usia 12 bulan. Namun masalah ini tidak ditemukan pada bayi perempuan.
Studi sebelumnya menetapkan hubungan antara infeksi lain selama kehamilan dan gangguan perkembangan saraf pada anak-anak, termasuk gangguan spektrum autisme.
Studi baru mengeksplorasi apakah ada hubungan yang sama dengan infeksi COVID-19 selama kehamilan, dengan fokus pada perbedaan risiko antara keturunan laki-laki dan perempuan.
“Risiko perkembangan saraf yang terkait dengan infeksi SARS-CoV-2 ibu, secara tidak proporsional tinggi pada bayi laki-laki, konsisten dengan peningkatan kerentanan laki-laki yang diketahui dalam menghadapi paparan prenatal merugikan,” kata penulis utama jurnal tersebut, Andrea Edlow.
Salah satu peneliti lain, Roy Perlis, mengatakan mereka berharap untuk memperluas kelompoknya dan melakukan perkembangan penelitian secara terus menerus, karena studi yang lebih besar dengan masa penelitian lebih lama diperlukan untuk membuat temuan mereka dapat diandalkan.
“Kami berharap untuk terus memperluas kelompok ini, dan mengikuti mereka dari waktu ke waktu, untuk memberikan jawaban yang lebih baik tentang efek jangka panjang,” katanya.
Studi ini didukung oleh National Institute of Mental Health, Simons Foundation dan National Institute of Child Health and Human Development di Amerika Serikat.
Baca juga: Ketahui pemeriksaan yang perlu dilakukan selama kehamilan
Baca juga: Studi: Ibu hamil tak divaksin lebih berisiko komplikasi akibat COVID
Baca juga: Menjaga kesehatan ibu hamil di tengah pandemi COVID-19
Pewarta: Pamela Sakina
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023