Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) meminta kepada seluruh kepala desa ataupun lurah di setiap daerah untuk menggunakan secara maksimal empat sumber pendanaan yang ada untuk mengatasi stunting.
“Perlu saya sampaikan setelah ada Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 untuk percepatan penurunan stunting, maka berapa jumlah desa yang bebas stunting itu menjadi indikator, menjadi ukuran dari proses pencapaian penurunan stunting,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam Webinar Seri 2 Praktik Baik De’Best 1.000 HPK yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Hasto menuturkan bahwa angka prevalensi stunting di Indonesia masih cukup tinggi yakni 21,6 persen berdasarkan data SSGI 2022. Dirinya memperkirakan dari persentase tersebut jumlah balita stunting saat ini mencapai 4,6 juta jiwa.
Dengan 82 ribu desa/kelurahan yang tersebar di seluruh penjuru negeri, seharusnya penanganan stunting bisa lebih optimal karena menggerakkan langsung partisipasi dari masyarakat desa dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045 melalui pembentukan generasi yang unggul, produktif, cerdas dan berdaya saing.
“Kalau kita targetkan separuh saja (angka prevalensi itu) turun, maka kurang lebih dua juta balita stunting di seluruh Indonesia harus terkoreksi. Terutama yang masih sebarannya di baduta, dengan kita membagi jumlah itu di 82 ribu desa/kelurahan, maka jatuhnya bapak dan ibu rata-rata hanya menangani sekitar 23 balita stunting bahkan ada yang lebih rendah atau lebih banyak tergantung jumlah penduduknya,” ujarnya.
Kemudian diperkirakan pula bahwa Indonesia memiliki sebanyak 4,8 juta ibu hamil dalam setahun. Ia menghitung bila dibagi dengan 82 ribu desa/kelurahan maka, setiap desa kurang lebih bisa hanya mengintervensi sebanyak 58 ibu hamil tiap tahun.
Menurutnya dengan perkiraan tersebut, penanganan stunting tidak akan terasa berat. Terlebih jika kepala desa atau lurah bisa memanfaatkan empat sumber anggaran yang telah diberikan oleh pemerintah pusat seperti bantuan Program Keluarga Harapan.
Hasto meminta setiap pemimpin untuk mendata dengan teliti siapa saja balita yang memiliki berat atau tinggi badan di Bawah Garis Merah (BGM) berdasarkan penimbangan di posyandu, dan tidak mendapatkan bantuan PKH. Sebab bila bantuan tersebut tidak diterima oleh keluarga berisiko stunting, maka intervensi yang dilakukan tidak bisa dimaksimalkan.
Meski ia tak menyebutkan jumlah pasti dari dana yang disalurkan pemerintah pusat, sumber pendanaan kedua yang perlu diperhatikan adalah Bantuan Pangan Non-Tunai, sementara sumber ketiga adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) dan yang keempat adalah Dana Desa yang penggunaannya sudah disetujui juga oleh Kemendes-PDTT.
“Jadi para kepala desa harus aktif (memantaunya), didukung oleh PKK dan Tim Pendamping Keluarga (TPK), kader, penyuluh KB dan lainnya harus aktif, karena anggaran Pendamping Makanan Tambahan (PMT) dari DAK sudah diberikan Kementerian Kesehatan melalui puskesmas,” ujarnya.
Dengan demikian, dirinya meminta kepada setiap kepala desa memeriksakan penyaluran dana tersebut di tingkat kabupaten, agar skrining pada anak stunting ataupun pemberian PMT bisa segera disalurkan secara tepat pada target sasaran.
“Bahkan dalam rangka percepatan penurunan stunting ini, kita harus bersama-sama dengan lintas sektor secara pentaheliks sampai melibatkan TNI/Polri,” katanya.
Baca juga: BKKBN dorong pemanfaatan data PK entaskan stunting dan kemiskinan
Baca juga: BKKBN: Pendataan keluarga bukti kolaborasi nyata atasi "stunting" anak
Baca juga: BKKBN: Pendataan Keluarga disusun dengan mengacu pada undang-undang
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023