"Internet adalah anugerah, tetapi bisa menjadi bencana manakala teknologi hanya bisa mengendalikan kita sebagai manusia, tanpa jiwa-jiwa yang beretika," ujar Dedy dalam rilis pers yang diterima, Minggu.
Hal itu disampaikannya dalam lokakarya bertema "Menjadi Generasi Kreatif Membuat Konten di Era Digital” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama dengan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi di Jawa Barat.
Dedy mengatakan, etika tersebut bisa berupa penggunaan kata dan bahasa yang sopan dan santun, tidak menggunakan huruf besar secara keseluruhan dalam kalimat, serta menyertakan sumber asli kutipan yang digunakan.
Baca juga: Kemendikbudristek: Etika berbahasa perlu disosialisasi di era medsos
Baca juga: Urgensi aspek Etika Digital 5.0
Menurut Dedy, ada pula pantangan atau larangan yang tidak boleh dilakukan dalam membuat konten di media sosial. Contohnya adalah penyebaran kabar bohong, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, atau konten yang melanggar undang-undang maupun norma kesusilaan.
Pasalnya, pelanggaran tersebut akan berujung pidana lantaran menabrak aturan dalam UU ITE.
Sementara itu, kreator konten dan YouTuber Arman Vesona membagikan kiat membuat konten kreatif tanpa nuansa negatif.
Dia mengatakan sebanyak 77 persen dari penduduk Indonesia sudah mampu mengakses internet atau setara 272 juta orang. Adapun jumlah pengguna media sosial di Indonesia tercatat sebanyak 191 juta orang.
Rincian pengguna internet tersebut adalah 139 juta orang pengguna YouTube, 99 juta orang pengguna Instagram, dan 92 juta orang pengguna TikTok.
“Dengan jumlah sebanyak itu menjadi peluang untuk pembuatan konten. Apa saja konten yang menarik itu? Sebaiknya adalah konten yang kreatif, menghibur, dan edukatif,” ujar Arman.
Arman menjelaskan, konten yang kreatif adalah konten yang mampu mengelola masalah dari sudut pandang yang berbeda. Sementara konten hiburan adalah konten yang mampu memberikan kesenangan dan mengurangi rasa bosan atau stres.
Baca juga: Etika komunikasi dunia siber dan nyata sebenarnya tak jauh beda
Adapun konten edukatif dikategorikan sebagai konten yang dapat meningkatkan kemampuan intelektual, sosial, emosional, dan moral yang positif.
Untuk membuat konten yang memenuhi berbagai kriteria di atas, lanjutnya, modal yang diperlukan cukup dari ponsel cerdas (smartphone). Selanjutnya adalah memilih media sosial yang menjadi fokus pembuatan konten, apakah di YouTube, Instagram, atau di TikTok.
Tahapan berikutnya adalah menentukan algoritma atau sistem dan cara kerja sebuah platform tentang bagaimana ia merekomendasikan kerelevanan konten kepada audiens.
Vice President Program ACBS Indonesia East Java M Adhi Prasnowo menambahkan, kreativitas membuat konten bisa diawali dengan kecintaan terhadap budaya asli Indonesia yang begitu beragam.
Selain itu, bisa juga dengan cara mendukung kecintaan terhadap aneka produk buatan dalam negeri.
Caranya adalah dengan mengutamakan dan bangga menggunakan produk asli Indonesia, memberikan feedback yang positif, turut mempromosikan, dan tidak mengkonsumsi secara berlebihan.
“Hal lain yang bisa dilakukan dengan pembuatan konten kreatif adalah dengan mewujudkan kesetaraan lewat gerakan digital inklusif, misalnya memberikan pendidikan literasi digital bagi kelompok disabilitas, masyarakat di daerah terpencil, anak-anak, perempuan, atau kepada warga berusia lanjut,” ucapnya.
Adhi juga mengingatkan pentingnya memahami hak-hak dan kewajiban dalam menggunakan media digital. Hak tersebut antara lain hak untuk mengakses internet, hak dalam berekspresi, maupun hak untuk merasa aman.
Namun, ada kewajiban yang tak kalah penting, seperti kewajiban menjaga ketertiban di masyarakat, bangsa, dan negara. Lokakarya literasi digital ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam program Indonesia Makin Cakap Digital yang diinisiasi oleh Kemenkominfo bersama GNLD Siberkreasi.
Baca juga: Akademisi ungkap cara membangun empati secara digital
Baca juga: Pentingnya etika digital cegah timbulnya konflik di jagat maya
Baca juga: Kemenkominfo gandeng perguruan tinggi di Sulsel perkuat etika digital
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023