Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni saat konferensi pers di Kampus UGM, Yogyakarta, Jumat, mengatakan penyembelihan hewan ternak mati karena sakit berpeluang menyebarkan bakteri termasuk antraks seperti yang terjadi di Dusun Jati, Semanu, Gunungkidul.
"Kalau disembelih itu kesalahan fatal karena bakteri sebagian besar ada di darah. Ketika darah keluar dan berinteraksi dengan udara, terbentuklah spora yang menjadi momok," kata Wahyuni.
Baca juga: DPKP DIY libatkan 200 mahasiswa UGM cek kesehatan hewan kurban
Baca juga: DPKP DIY libatkan 200 mahasiswa UGM cek kesehatan hewan kurban
Ia menuturkan kasus antraks telah masuk ke Indonesia sejak 1884, dan wilayah yang terserang antraks semakin lama semakin meluas.
Semakin meluasnya kasus itu karena antraks merupakan penyakit yang tidak mudah dimusnahkan.
Menurut dia, spora yang dihasilkan oleh bakteri antraks sulit hilang dan bisa bertahan di tanah hingga puluhan tahun.
Penyakit antraks yang menyerang hewan, kata dia, sebenarnya masih bisa ditangani dengan terapi pengobatan.
Hewan yang terjangkit bisa tetap hidup dan sembuh dari penyakit tersebut asalkan mendapat penanganan yang cepat dan tepat.
"Bisa diobati karena bakteri masih sensitif dengan antibiotik. Untuk pencegahan ada vaksinasi yang perlu diulang setiap enam bulan," kata Wahyuni.
Ia menyebutkan antraks yang menyerang manusia sendiri bisa dibagi ke dalam empat jenis, yaitu antraks kulit, antraks saluran pencernaan, antraks saluran pernafasan, serta antraks injeksi.
Dosen Fakultas Peternakan UGM Nanung Danar Dono menegaskan pentingnya pemahaman, kesadaran, serta upaya bersama dalam penanganan antraks agar tidak lagi menimbulkan korban.
Kebiasaan memotong dan membagi-bagikan daging hewan yang mati karena sakit, menurutnya, merupakan salah satu kebiasaan yang berbahaya, sehingga harus dihentikan.
"Cukup sudah jangan sampai ada kasus lagi, karena sekarang hampir semua provinsi di Indonesia sudah kena. Sebagaimana saat COVID-19, mari bersama-sama kita lawan, masyarakat saling mengingatkan," kata dia.
Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Aniq Syihabuddin menyebut kasus antraks di DIY pernah muncul di Pakem, Sleman pada 2003, berikutnya di Kulon Progo pada 2016, di Pleret, Bantul pada 2017, dan Karangmojo, Gunungkidul pada 2019.
Aniq menduga kembali munculnya kasus antraks di Gunungkidul, bahkan mengakibatkan seorang warga meninggal dunia akibat belum hilangnya kebiasaan "porak" atau menyembelih, lalu mengonsumsi sapi yang mati.
"Jika di daerah lain mungkin kalau (sapi) sudah mati ya dikubur sehingga kasus pada manusia tidak ada. Namun, di Gunungkidul sekali muncul kasus, lama kasusnya karena kebiasaan masyarakatnya," ujar dia.
Baca juga: Mahasiswa FKH UGM dilibatkan awasi hewan kurban
Baca juga: UGM bangun rumah sakit hewan bertaraf internasional
Sebelumnya, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat ada 12 hewan ternak mati akibat antraks di Dusun Jati, Semanu, Gunungkidul yang terdiri atas enam ekor sapi dan enam ekor kambing sejak April 2023.
Meski tidak semua, ada sapi yang mati kemudian disembelih dan dikonsumsi bersama warga setempat, salah satunya oleh seorang warga yang pada akhirnya sakit dan meninggal dunia pada 4 Juni 2023.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023