"Menanggapi keputusan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengenai larangan bercadar bagi mahasiswi, tentunya itu kebijakan yang sangat arogan karena telah merampas hak perempuan dalam berbusana," kata Direktur Eksekutif Lembaga Dakwah dan Syiar Islam The AHY Institute di Jakarta, Jumat.
Ia justru menyesalkan busana yang ketat dan minim sepanjang dianggap memenuhi norma kesopan cenderung lebih diperbolehkan agar dianggap tidak memiliki ancaman radikalisme.
Padahal batasan norma kesopanan juga dianggap Arif tidak baku dan tidak jelas.
Baca juga: Rektor UIN buat kebijakan baru terkait cadar
Menurut dia, jika pelarangan menggunakan cadar terkait dengan alasan kekhawatiran pada gerakan anti-NKRI hal itu cenderung merupakan persoalan yang berbeda.
"Kalau mahasiswi yang bercadar dianggap terkesan ekslusif, terindikasi anti-NKRI atau anti-Pancasila, tentu ini bagian berbeda, tugas kampus seyogyanya melakukan pembinaan dan pemahaman tentang nasionalisme. Bukan dengan cara merampas hak perempuan dalam berbusana," kata alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ia menegaskan, tidak ada aturan baku di Indonesia yang berhak untuk mengatur cara berpakaian warganya.
"Bahkan dari sisi kajian antropologi cadar itu sudah ada sejak dulu, bahkan umat Yahudi ortodok masih memakai sampai saat ini," katanya.
Arif berpendapat memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekadar budaya Timur-Tengah atau Arab.
Baca juga: Aksi Hari Perempuan juga merespons larangan bercadar
Sebagian meyakini bahwa ajaran Islam mewajibkan perempuan untuk menutup aurat, sehingga perempuan Islam memilih hijab termasuk di dalamnya cadar untuk mengikuti ajaran agamanya.
Baca juga: KemenPPA : Larangan bercadar strategi edukasi universitas
Baca juga: Menag jelaskan soal pelarangan cadar di UIN Yogyakarta
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018