Itulah akhir dari pembahasan selama dua tahun sejak RUU itu diajukan pemerintah kepada DPR RI pada Februari 2016, menyusul aksi terorisme di kawasan Sarinah Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016.
Baca juga: Paripurna DPR setujui RUU Terorisme
Rentetan aksi terorisme terus berlangsung pada 2016, 2017, hingga 2018 hingga terbaru berupa serangan atas Mapolda Riau pada Rabu pagi (16/5).
Percepatan penyelesaian pembahasan pun dimulai lagi pada 18 Mei 2018 setelah DPR RI membuka masa sidang kelima tahun 2017/2018. Hanya berselang seminggu, percepatan itu pun membuahkan hasil persetujuan DPR RI atas RUU itu untuk disahkan oleh Presiden Jokowi menjadi UU.
Revisi pun terlihat lengkap, bahkan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Enny Nurbaningsih menyebut revisi yang komprehensif.
Revisi tidak hanya mengubah atau mengganti ketentuan dari peraturan sebelumnya, tetapi juga menghapus, menyisipkan pasal-pasal baru, bahkan menambah bab baru.
Baca juga: Substansi-substansi baru dalam RUU Anti-Terorisme
Hal yang baru dari RUU itu antara lain soal definisi terorisme dengan memasukkan tambahan rangkaian kata "dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan", sehingga kalimat lengkapnya menjadi: "Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan".
Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan satu pasal baru, yakni Pasal 10A yang terdiri atas empat ayat. Ayat (1) berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, membuat, menerima, memperoleh, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, nuklir, radioaktif atau komponennya, dengan maksud untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati".
Ayat (2) berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja memperdagangkan bahan potensial sebagai bahan peledak atau memperdagangkan senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, bahan nuklir, radioaktif atau komponennya untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun".
Ayat (3) berbunyi, "Dalam hal bahan potensial atau komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbukti digunakan dalam Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun". Sementarra ayat (4) brebunyi, "Setiap orang yang memasukkan ke dan/atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia suatu barang selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang dapat dipergunakan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun".
Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan dua pasal baru, yakni Pasal 12A dan Pasal 12B. Pasal 12A terdiri atas tiga ayat. Ayat (1), "Setiap orang yang dengan maksud melakukan melakukan Tindak Pidana Terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain, merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan Tindak Pidana Terorisme dengan orang yang berada di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun".
Sementara pasal 12A ayat (2) berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi anggota korporasi yang ditetapkan dan/atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun. Ayat (3) berbunyi, pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengendalikan kegiatan Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun".
Pasal 12B terdiri atas lima ayat. Ayat (1), "Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun".
Ayat (2), "Setiap orang yang dengan sengaja merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Ayat (3), setiap orang yang dengan sengaja membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik maupun nonelektronik untuk digunakan dalam pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun".
Sementara itu, Pasal 12B ayat (4) berbunyi, "Setiap warga negara Indonesia yang dijatuhi pidana Terorisme sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun. Ayat (5), pelaksanaan pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan setelah terpidana selesai menjalani pidana pokok".
Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan satu pasal baru, yakni Pasal 13A yang berbunyi, "Setiap orang yang memiliki hubungan dengan organisasi Terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang dapat mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun".
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi, "Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, persiapan, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A".
Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan satu pasal, yakni Pasal 16A yang berbunyi, "Setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)".
Hasil revisi itu juga menghapus peraturan lama pada Pasal 37 sampai dengan Pasal 42.
Penambahan bab dilakukan di antara Bab VII dan Bab VIII yang ditambahkan tiga bab baru, yakni Bab VIIA tentang pencegahan tindak pidana terorisme, Bab VIIB tentang kelembagaan, dan BAB VIIC tentang aturan peralihan.
Baca juga: BNPT apresiasi pengesahan UU Terorisme
Peran TNI
Dalam Bab VIIB tentang kelembagaan diatur tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, peran TNI, dan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan membentuk tim pengawas penanggulangan terorisme.
Peran TNI diatur dalam Pasal 43I yang terdiri atas tiga ayat. Ayat (1), berbunyi, "Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang". Ayat (2), "Dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia", dan ayat (3), "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden".
Dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, aspek pencegahan secara simultan, terencana dan terpadu perlu dikedepankan untuk meminimalisasi terjadinya tindak pidana terorisme.
Pencegahan secara optimal dilakukan dengan melibatkan kementerian atau lembaga terkait serta seluruh komponen bangsa melalui upaya kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Untuk mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana terorisme, perlu penguatan fungsi kelembagaan, khususnya fungsi koordinasi yang diselenggarakan dengan BNPT berikut mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan dalam hal ini badan kelengkapan di DPR RI yang melaksanakan tugas di bidang penanggulangan terorisme.
Selain itu, penanganan tindak pidana terorisme juga merupakan tanggung jawab bersama lembaga-lembaga yang terkait, termasuk TNI yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam mengatasi aksi terorisme. Peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme tetap dalam koridor pelaksanaan tugas dan fungsi TNI sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai TNI dan Pertahanan Negara.
Dalam rangka memberikan landasan hukum yang lebih kukuh guna menjamin pelindungan dan kepastian hukum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, serta untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat, perlu dilakukan perubahan secara proporsional dengan tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan penegakan hukum, perlindungan hak asasi manusia, dan kondisi sosial politik di Indonesia.
Inilah hasilnya, tinggal Presiden Jokowi selaku Kepala Negara mengesahkan RUU ini menjadi UU dan akan berlaku serta mengikat bagi setiap WNI.
Baca juga: Taufik: segera terbitkan PP, Perpres pascapersetujuan UU Antiterorisme DPR
Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2018