• Beranda
  • Berita
  • Gugatan kepada Presiden karena kegagalan pemerintah sebelumnya

Gugatan kepada Presiden karena kegagalan pemerintah sebelumnya

25 Agustus 2018 20:11 WIB
Gugatan kepada Presiden karena kegagalan pemerintah sebelumnya
Arsip Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Menteri LHK Siti Nurbaya (kedua kiri), Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki (kanan), Juru Bicara Presiden Johan Budi (kiri) dan Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead (kedua kanan) mengumumkan pembentukan Badan Restorasi Gambut untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (13/1/2016). Badan Restorasi Gambut yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut bertugas untuk menata lanskap ekologi gambut serta bergerak dalam konteks penyelamatan gambut dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Fakta ini semua menegaskan bahwa di era Presiden Jokowi, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ditangani dengan sangat serius, bahkan penanganannya dilakukan secara sistematis dan terencana."

Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Bambang Hero Saharjo, M.Agr mengungkapkan gugatan terkait kebakaran hutan dan lahan kepada Presiden Jokowi di PN Palangkaraya, Kalimantan Tengah, akibat kegagalan pemerintah sebelumnya.

"Karena di masa Jokowi justru sudah banyak terjadi perubahan," katanya dalam keterangan persnya di Jakata, Sabtu..

Kalau mau jujur, kata dia, dari 12 tuntutan yang diajukan itu, tepatnya sebelum gugatan dikabulkan PN pada Maret 2017, sebagian besar sebenarnya sudah dipenuhi. "Sudah banyak langkah berani dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pemerintah," kata Bambang.

Dimulai dari Surat Edaran (SE) Menteri LHK Nomor 495/2015, PermenLHK 77 Tahun 2015, dilanjutkan pada Januari 2016, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 terkait pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk merestorasi areal gambut yang terbakar 2015.

Kemudian lahir kebijakan bersejarah, yakni PP 57 Tahun 2016 tentang Tata Kelola Gambut yang menjadi awal pondasi moratorium pembukaan gambut baru, termasuk di dalamnya penghentian seluruh aktivitas di areal gambut pada izin yang lama.

Selanjutnya lahir Permen LHK Nomor 32 Tahun 2016, Permen LHK terkait pengelolaan dan pemulihan gambut Nomor 14 sampai dengan 17 tahun 2017. Hingga, Permen LHK Nomor 9 tahun 2018 tentang Siaga Darurat Kebakaran serta keseriusan penegakan hukum yang untuk pertama kali baru berani secara tegas menyasar korporasi.

"Fakta ini semua menegaskan bahwa di era Presiden Jokowi, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ditangani dengan sangat serius, bahkan penanganannya dilakukan secara sistematis dan terencana," kata Bambang.

Penanganan karhutla secara menyeluruh tersebut, kata Bambang, telah membawa hasil signifikan. Jumlah titik api menurun hingga 85 persen dan Indonesia akhirnya untuk pertama kali bisa bebas bencana karhutla serta asap secara nasional pada tahun 2016 dan 2017.

Selain itu tidak ada asap lintas batas ke negara tetangga, padahal biasanya rutin terjadi hampir dua dekade.


Akumulasi

Kejadian karhutla tahun 2015, kata dia, menjadi akumulasi bencana dan mengindikasikan ketidakseriusan penanganan karhutla di masa pemerintah sebelumnya. "Karhutla yang paling diingat terjadi tahun 1997/1998, saat itu luas yang terbakar mencapai 10-11 juta hektare dengan dampak yang sangat buruk," kata Bambang.

Ketika itu bencana asap melumpuhkan banyak aktivitas masyarakat. Jutaan rakyat Indonesia, termasuk negara-negara ASEAN, mengalami dampak kebakaran yang begitu dahsyat. "Penanganan kebakaran yang `itu-itu` saja membuat kebakaran terus di hampir setiap tahun setelahnya," kata Bambang.

Karhutla yang cukup besar kembali terjadi tahun 2006. Saat itu Presiden RI menggaungkan kampanye "perang terhadap bencana asap" dengan melibatkan seluruh pihak di Sumatera Selatan.

Saat itu perintah Presiden adalah karhutla harus di atasi mulai tingkat tapak. "Namun kebakaran besar tetap saja terjadi tahun 2013 sehingga untuk kesekian kalinya, Presiden RI harus minta maaf kepada negara tetangga karena asap lintas batas akibat karhutla di negara kita," ungkap pakar kebakaran hutan dan lahan ini.

Saat itu, pemerintah benar-benar dibuat seolah tak berdaya. Tahun 2014, karhutla kembali terjadi dengan tidak kalah hebatnya seperti kejadian tahun-tahun sebelumnya.

Singapura pun di ambang batas kesabaran karena selalu merasakan dampak bencana asap. Pada tahun yang sama, Singapura akhirnya mengeluarkan "Transboundary Act".

"Pemerintah Singapura melegalkan penangkapan atas para bos korporasi, meskipun itu bukan warga negara mereka, yang diduga berada di balik bencana asap yang menyelimuti negara mereka dan membuat penderitaan warganya," kata Bambang.

Keluarnya UU tersebut merupakan "tamparan keras dan sangat memalukan" untuk Indonesia karena dinilai gagal menegakkan hukum terkait karhutla dengan tegas yang menyebabkan bencana asap selalu saja berulang, bahkan hampir selama 20 tahun.

"Lahirnya undang-undang ini juga diduga akibat penanganan kebakaran (di Indonesia) yang tidak sistematis," ungkap Bambang.

Sekitar bulan Februari 2015, salah satu instansi terkait yang berurusan dengan prediksi iklim dan cuaca Jepang mengumumkan tentang tren menguatnya fenomena El Nino pada tahun 2015. Saat itu pemerintahan baru saja berganti dari Presiden SBY ke Presiden Joko Widodo dengan Siti Nurbaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Baca juga: Kabut asap selimuti Palangka Raya pada pagi dan sore

Baca juga: Pemerintah tempuh kasasi terkait putusan Karhutla Kalteng

Baca juga: Hampir 500 perusahaan kena sanksi terkait lingkungan

Baca juga: PSI dukung penanggulangan karhutla

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018