Semangat itu tertuang dalam ungkapan "Sisters Support Sisters!" (dukung sesama perempuan!), sebuah slogan yang menggambarkan solidaritas sesama kaum hawa untuk saling mendorong agar maju dan berkembang bersama di berbagai sektor pembangunan bangsa.
Salah satu delegasi senior dalam acara itu, Farida Pelupessy mengingatkan kembali pentingnya bagi para wanita untuk merenungkan slogan tersebut dalam pikiran dan perbuatan di kehidupan sehari-hari.
"Generasi muda perempuan Indonesia harus saling berpegangan tangan, terus mendorong agar maju. Jangan merasa perbedaan membuat kita bermusuhan, hingga saling sikut," kata Farida, delegasi berusia 69 tahun yang saat ini menjabat sebagai Ketua Badan Kerja Sama Organisasi Wanita (BKOW) Sulawesi Selatan sekaligus penasihat Ikatan Istri Dokter Indonesia.
Farida yang telah berkecimpung di organisasi perempuan selama puluhan tahun itu menegaskan, para perempuan, khususnya wanita muda Indonesia harus memastikan untuk tidak hanya mengembangkan diri sendiri, tetapi turut mengajak kaumnya untuk maju bersama.
"Untuk memiliki semangat saling mendukung sesama, pola pikir harus diubah, ego personal harus dihilangkan," terang Farida saat ditemui di sela acara temu nasional itu.
Jargon "sisters support sisters" mulai muncul seiring dengan gerakan perempuan berkembang pada awal abad ke-19 di dataran Eropa dan Amerika Serikat.
Semangat itu pun menular ke negara-negara di Asia, khususnya India, hingga Indonesia, yang ditandai dengan isi surat R.A Kartini yang menyebutkan bahwa perempuan harus maju bersama, khususnya dalam bidang pendidikan.
Adanya keinginan untuk saling membantu itu muncul, mengingat perempuan kerap menjadi kaum yang dinomorduakan dalam masyarakat.
Di berbagai tradisi, tidak hanya beberapa suku di Indonesia, tetapi juga negara lain, misalnya Fiji, perempuan dianggap menjadi warga kelas dua (second class), artinya, mereka tidak punya tempat untuk menjadi pemimpin dan pembuat keputusan di berbagai sektor pembangunan.
Simone de Beauvoir (1908-1986), penulis perempuan Prancis dan perintis gerakan feminis, dalam bukunya "The Second Sex" mengatakan, di tengah masyarakat, laki-laki (male) sering dianggap sebagai "a human being" -- manusia dengan kesempatan tidak terbatas untuk mengaktualisasi diri, sementara perempuan (female) selalu dianggap sebagai "ekor" atau "tiruan" dari laki-laki.
Anggapan tersebut yang dikritik oleh gerakan perempuan, tidak hanya di Prancis, tetapi juga kaum hawa seluruh dunia, termasuk di Indonesia, khususnya melalui Temu Nasional 1.000 Organisasi Perempuan Indonesia dan Sidang Umum ke-35 Dewan Perempuan Internasional (ICW) di Yogyakarta, 13-18 September.
Baca juga: Menteri PPPA: sidang umum ICW majukan perempuan
Baca juga: Presiden akan buka pertemuan ICW dan seribu organisasi perempuan
Merumuskan solusi
Dalam pertemuan itu, perempuan dari berbagai organisasi di Indonesia dan dunia berkumpul membahas sejumlah problem yang masih mendera kaum hawa, sekaligus merumuskan langkah konkret untuk menyelesaikan masalah.
Problem yang telah diangkat pada sejumlah diskusi panel dan lokakarya, di antaranya soal pencegahan kekerasan terhadap perempuan, peningkatan akses keuangan, partisipasi politik, dan akses terhadap pendidikan.
Tidak hanya itu, masing-masing perwakilan dari seribu organisasi perempuan Indonesia turut menyuarakan misi pemberdayaannya, khususnya dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Farida, misalnya, ia menyuarakan bahwa perempuan, khususnya di daerah Sulawesi Selatan masih banyak yang menderita kanker serviks dan payudara. Salah satu penyebabnya, kesadaran untuk mencegah masih terbilang rendah.
"Penderita kanker serviks di Sulawesi Selatan masih tergolong tinggi, sehingga kami mengajak saudari-saudari dari organisasi lain untuk memperhatikan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini," terang Farida.
Baca juga: Kemenkes: perempuan ujung tombak bidang kesehatan
Baca juga: Kesehatan ibu-anak jadi agenda Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan
Pada kesempatan berbeda, delegasi lain, Christine Sibarani dari Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) mengatakan, perempuan harus menempatkan diri sebagai mitra pemerintah dalam memberantas korupsi.
"Perempuan harus berani mengatakan, kita anti korupsi!" kata Christine saat ditemui di sela acara.
Ia mengatakan, perang terhadap korupsi merupakan misi utama yang diemban organisasinya.
Sementara itu, sekelompok perempuan dari berbagai negara juga telah menyuarakan bahwa kaum hawa masih perlu memikirkan langkah strategis menyelesaikan problem kekerasan, baik di ranah domestik ataupun publik.
Dalam sebuah acara lokakarya yang dipandu Duta Besar Fiji Selima Dikawakawayali Veisamasama, belasan perempuan dari Taiwan, Inggris, Australia, Afrika Selatan, dan tidak ketinggalan Indonesia berbagi pengalaman dan pikiran untuk menghentikan mata rantai siklus kekerasan terhadap perempuan.
Baca juga: Dubes Fiji rumuskan strategi cegah kekerasan terhadap perempuan
Baca juga: Peneliti: pencegahan kekerasan terhadap perempuan dimulai dari keluarga
Salah satu delegasi asal Indonesia, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Irawati Harsono menyampaikan perang terhadap kekerasan harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi korban, tetapi juga penegakan hukum.
Irawati yang selama 30 tahun bertugas sebagai anggota kepolisian menyadari, reformasi di tubuh kepolisian merupakan salah satu cara efektif untuk menciptakan efek jera bagi para pelaku kekerasan, khususnya yang terjadi di wilayah domestik.
Ia menceritakan pengalamannya mengadvokasi pembentukan unit khusus untuk mendampingi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
"Selama ini korban perkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) enggan melapor ke polisi karena merasa tidak ada gunanya, kami berupaya mengubah pandangan itu dengan mengadvokasi pembentukan unit khusus di kepolisian," kata Irawati.
Di samping Irawati, salah satu delegasi Dewan Perempuan Internasional (ICW) asal Taiwan, Petty Chang mengatakan, mediasi juga dapat menjadi salah satu solusi memulihkan hubungan antara pelaku dan korban kekerasan.
"Di Taiwan, setidaknya tiga kasus KDRT terjadi per bulan. Salah satu cara kami mengatasi itu, petugas tidak hanya mendekati korban, tetapi juga berbicara dengan pelaku untuk rehabilitasi dan pemulihan terhadap relasi yang rusak," kata Petty.
Sementara itu, delegasi tertua ICW asal Victoria, Australia, Elizabeth Newman (92) mengatakan kekerasan kerap terjadi karena banyak perempuan tidak independen secara finansial.
Dengan begitu, salah satu solusi yang dapat diterapkan adlah memastikan perempuan memiliki akses ke bidang perbankan dan usaha.
Dalam sambutannya, Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno menegaskan bahwa peningkatan akses permodalan kepada para perempuan penting, mengingat wanita yang diberi bantuan dana tidak hanya menjadi pebisnis, tetapi dia akan berperan sebagai pemimpin di keluarga, komunitas, bahkan di tengah masyarakat.
(T. KR-GNT/
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2018