RTRW menentukan kekuatan mitigasi bencana

10 Oktober 2018 20:58 WIB
RTRW menentukan kekuatan mitigasi bencana
Peta gempa di Ogoamas, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, pada Selasa (24/4/2018). (ANTARA News/BMKG)

Apakah suatu lahan dapat dibangun atau tidak, ditetapkan lewat dokumen RTRW dimana menjadi konsensus yang mengikat pihak terkait, baik pemerintah pusat dan daerah

Jakarta (ANTARA News) - Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang terdapat dalam suatu kawasan perlu dipikirkan dan dibuat dengan cermat karena memiliki peranan yang penting di dalam kekuatan mitigasi bencana daerah tersebut.

"Upaya peningkatan kualitas Rencana Tata Ruang khususnya terkait aspek pengurangan resiko bencana terus kami lakukan berkolaborasi dengan pihak-pihak terkait seperti Badan Geologi, Kementerian PUPR dan BMKG," kata Dirjen Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang Abdul Kamarzuki, dalam keterangan tertulis, Rabu.

Berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB), sampai dengan pertengahan Oktober 2018 setidaknya telah terjadi 1,230 frekuensi kejadian bencana.

Selain itu, seluruh wilayah Indonesia dinilai memiliki kerawanan gempa bumi dan hanya Pulau Kalimantan yang relatif memiliki bahaya rendah terhadap gempa bumi. Data terakhir yang dilansir oleh Kementerian Pekerjaan Umum terkait Peta Gempa Nasional yang dirilis tahun 2017, setidaknya terdapat 295 zona bahaya patahan aktif.

"Kondisi ini membuat Indonesia harus memiliki upaya mitigasi bencana yang kuat. Penataan ruang memiliki peranan besar dalam upaya mitigasi bencana. RTRW mengatur kesesuaian peruntukan suatu lahan. Apakah suatu lahan dapat dibangun atau tidak, ditetapkan lewat dokumen RTRW dimana menjadi konsensus yang mengikat pihak terkait, baik pemerintah pusat dan daerah," ucapnya.

Untuk itu, ujar dia, Peta Gempa 2017 yang dilansir Kementerian PUPR dengan skala nasional perlu dirincikan ke dalam peta mikrozonasi gempa bumi pada skala kabupaten/kota agar dapat digunakan dalam RTRW dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

Direktorat Jenderal Tata Ruang tahun ini melakukan pilot project dengan pendetailan tersebut di Pidie Jaya, Palu, dan Sorong.

Baca juga: BNPB sarankan daerah petakan risiko likuifaksi

Di tempat terpisah, Direktur Utama Bank Dunia Kristalina Georgiva menyarankan Pemerintah Indonesia untuk menambah anggaran Pemerintah untuk mitigasi bencana, mengingat kondisi geografis Indonesia berada di lingkup cincin api yang rawan bencana.

"Saran kami adalah menambah anggaran lagi dalam kesiapan dan pencegahan, dan untuk membangun setelah bencana itu. Pencegahan lebih baik daripada penyembuhan," kata Kristalina usai melakukan kunjungan kehormatan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla di Bali, Rabu.

Kristalina menjelaskan bahwa dengan menambah anggaran untuk mitigasi bencana tidak akan menimbulkan kerugian bagi Pemerintah. Justru dia menegaskan bahwa kenaikan anggaran untuk mitigasi bencana bisa menyelamatkan lebih banyak masyarakat dan fasilitas umum di daerah terdampak bencana.

Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menilai kemampuan mitigasi di Kota Palu dan Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, masih sangat minim, padahal gempa bumi dan tsunami sudah beberapa kali terjadi di dua wilayah ini.

Baca juga: Indonesia Belum Miliki Peta Patahan

"Sering terjadi gempa bumi dan beberapa kali diikuti tsunami yang menimbulkan korban, lalu wilayah ini menjadi kawasan perkotaan dengan pemukiman padat namun dengan kemampuan mitigasinya yang masih sangat minim," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, di Kantor BNPB Jakarta, Sabtu (29/9).

Sutopo mengatakan, setiap tahun BNPB bersama dengan BPBD melakukan sosialisasi di dua wilayah ini, mengingat wilayah ini memiliki potensi gempa bumi dan tsunami yang tinggi karena dilalui patahan sesar Palu-Koro.

Baca juga: Indonesia Miliki Peta Bahaya Gempa Baru

Baca juga: Ahli: Indonesia Minim Data Gempa Bumi

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2018