"Perlu dilakukan pemetaan mikrozonasi gempa dan likuifaksi sehingga sebaran daerah gempa dan likuifaksi dapat dipetakan secara detail," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam konferensi pers di Kantor BNPB, Jakarta, Minggu.
Pada 2012, Badan Geologi telah melakukan penelitian tentang likuifaksi di kota Palu. Hasilnya menunjukkan Palu tergolong wilayah yang berpotensi sangat tinggi mengalami likuifaksi. Namun permukiman tetap dibangun di area yang berisiko mengalami likuifaksi itu.
"Adanya likuifaksi saat gempa menyebabkan kerusakan bangunan dan korban jiwa di kota Palu lebih besar dibandingkan dengan daerah lain," tuturnya.
Dia mengatakan peta mikrozonasi terkait risiko gempa dan likuifaksi selanjutnya mesti menjadi pertimbangan dalam penataan ulang ruang kota Palu serta daerah-daerah rawan bencana lain.
Sutopo menjelaskan bahwa saat likuifaksi terjadi, tanah kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat tekanan, tanah yang tersusun atas lapisan kerikil, batu apung, dan air ketika digoncang gempa rongga-rongganya menjadi lebih longgar sehingga akhirnya menjadi lumpur.
"Otomatis beban di atasnya menjadi ambles. Rumah-rumah mengalir seolah-olah hanyut, yang akhirnya tenggelam. Pasalnya, di sana kedalaman air tanah di bawah 10 meter. Saat gempa di Palu pertama 7,4 Skala Richter, lalu disusul 6 Skala Richter, otomatis tanah menjadi lembek dan menjadi lumpur," tuturnya mengenai likuifaksi yang menyertai gempa yang melanda Palu, Donggala dan Sigi pada 28 September.
Baca juga:
Ahli Geologi AS sebut likuifaksi Sulteng menyeramkan
180 hektare area Petobo dan 202 hektare area Jono Oge ambles
Lapan upayakan citra satelit lokasi terdampak likuifaksi
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018