"Kesalahan kalau negara menggelontorkan uang untuk sesuatu yang tidak berdasar. Tidak ada kewajiban dalam undang-undang," ucap Ray di Jakarta, Kamis.
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, saksi dari partai politik bukanlah perangkat yang menentukan sah atau tidaknya pengambilan suara, partai politik memiliki pilihan untuk mengirim saksi atau tidak saat pengambilan suara dilakukan.
Ia mengatakan yang diwajibkan ada adalah petugas saksi dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atau yang disebut pengawas lapangan yang dibiayai negara.
Pengawas lapangan, tutur Ray, bekerja di bawah koordinasi Bawaslu sehingga pertanggung jawabannya jelas, sementara untuk saksi partai politik yang tidak diwajibkan, pertanggung jawabannya tidak jelas.
Selain itu, menurut Ray, saksi dari partai politik bukan tolok ukur dan dasar suatu pemilihan ditetapkan jujur dan adil atau tidak.
"Saksi partai politik tidak menentukan syarat terlaksananya pemilu. Tidak menentukan demokratis. Saksi tidak membatalkan kesahihan pemilu," tutur Ray.
Apabila pemerintah menyetujui dana untuk saksi, ia mengatakan terdapat dana ganda dengan aktivitas sama, yakni pengawas lapangan dari Bawaslu dan partai politik. Kriteria saksi dari partai politik pun diperkirakan tidak ada karena tidak diatur dalam undang-undang.
Badan Anggaran (Banggar) DPR RI telah menerima usulan anggaran dana saksi untuk Pemilu 2019 sebesar Rp3,9 triliun dari Komisi II DPR yang dianggarkan dalam APBN 2019.
Dana saksi itu diberikan kepada parpol dengan pengelolaannya diserahkan kepada Bawaslu namun pemerintah keberatan karena tidak diatur dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca juga: Anggaran dana saksi Rp3,9 triliun telah diusulkan ke Banggar DPR
Baca juga: KIPP tolak dana saksi parpol gunakan APBN
Baca juga: Nasdem tolak pemerintah tanggung dana saksi pemilu
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018