Literasi dan falsifikasi penangkal hoaks

6 November 2018 20:55 WIB
Literasi dan falsifikasi penangkal hoaks
Warga yang tergabung dalam Generasi Muda Nahdlatul Ulama (GMNU) menunjukkan saat unjukrasa menolak hoaks di Alun-alun Tegal, Jawa Tengah, Rabu (10/10). (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/ama)

Jadi, menangkal hoaks sesungguhnya simpel belaka: tingkatkan daya berpikir dan perluas horison pengetahuan anda.

Di tahun politik atau bukan, hoaks tampaknya kian merebak di mana-mana seiring dengan semakin derasnya arus informasi yang sumbernya semakin hari juga kian berbiak berlipat ganda.

Siapa pun saat ini merupakan konsumen sekaligus produsen informasi. Seorang individu yang tak terpelajar, yang tinggal di jantung kota metropolitan atau tinggal di sebuah desa miskin punya potensi menjadi sumber berita yang viral dikonsumsi jutaan pemirsa.

Itu sebabnya, hoaks pun dapat diproduksi oleh siapa pun, asalkan dia punya gawai yang tersambung jaringan internet dan punya akun media sosial tempat untuk mengunggah apa pun, baik dalam bentuk kisah verbal, foto atau audio visual.

Itu sebabnya jika hoaks marak di mana-mana, hal itu bisa dimaklumi. Kesadaran publik untuk waspada terhadap hoaks semakin tinggi seiring dengan pengalaman personal. Makin banyak orang yang terkecoh oleh hoaks, makin bijaklah mereka dalam menyikapi setiap informasi yang dikonsumsinya.

Di tengah rimba informasi yang menyebar lewat berbagai kanal, hoaks tak selamanya berdampak buruk bagi siapa pun yang mengonsumsinya.

Hoaks yang terburuk adalah ketika kabar bohong itu merugikan seperti penipuan yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang menyebar fitnah untuk memengaruhi pemilih dalam sebuah pemilihan umum.

Namun, hoaks yang tak merugikan, seperti misalnya unggahan video tentang seorang warga di pedalaman desa di Afrika menangkap ular berkaki serupa naga, justru dapat menjadi hiburan fiktif. Anggap saja itu seperti anda membaca cerita-cerita fantasi karangan J.R.R. Tolkien, baik yang terkisahkan di The Hobbits atau di The Lord of The Rings.

Namun, jika hoaks serupa itu dilakukan oleh warga di Tanah Air, misalnya unggahan tentang warga Bekasi yang menangkap ikan duyung, di Kalimalang, mungkin ada orang-orang yang dirugikan. Boleh jadi ada orang di Jakarta yang berniat untuk melihat secara langsung di tempat penangkapan ikan duyung itu, dan ternyata peristiwa itu hoaks belaka.

Warga Jakarta itu pun rugi karena sudah mengeluarkan tenaga dan uang transpor ke lokasi tapi tak menemukan apa yang diharapkan. Namun, jenis orang-orang yang terkecoh oleh hoaks yang nonsens semacam ini pun sangat langka.

Jenis hoaks yang belum lama ini beredar luas, yang membuat pembaca terharu adalah sebuah puisi tentang petuah terkait tragedi jatuhnya pesawat Lion Air di Teluk Karawang. Puisi itu diberi atribusi Sri Mulyani Indrawati, yang tak mengakui bahwa puisi itu ciptaannya.

Meskipun tak ada pembaca yang dirugikan, hoaks jenis ini tampaknya perlu dicela. Setidaknya, dari sisi edukasi pertanggungjawaban hasil karya, hoaks ini mendorong lahirnya iklim kepengecutan. Membuat sesuatu dengan mengatasnamakan orang lain tanpa sepengetahuan orang bersangkutan adalah perbuatan tak etis, tak bertanggung jawab.

Hoaks yang tak merugikan individu secara langsung tapi destruktif secara sosial politik adalah yang berkaitan dengan perkara publik. Hoaks semacam ini sangat marak peredarannya di musim kampanye politik.

Bagaimana mengatasi hoaks yang semacam ini? Banyak ahli yang memberikan resep untuk menangkal hoaks. Resep paling umum adalah dengan meningkatkan kemampuan logika berpikir dan menambah pengetahuan untuk meluaskan wawasan individual.

Menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Dadang Sunendar, banyak membaca adalah cara paling ampuh menangkal hoaks.

Dalam hal ini, Dadang menggunakan istilah literasi, yakni kemampuan membaca dan menulis seseorang untuk memahami persoalan.

Meningkatkan literasi menjadi satu cara yang ampuh untuk menangkal hoaks atau kabar bohong yang penyebarannya semakin tak terbatas.

Cara lain untuk menyikapi sebuah informasi yang berpotensi mengandung anasir hoaks adalah dengan jalan melakukan falsifikasi, metode keilmuan yang diperkenalkan filsuf Karl Popper.

Metode itu tentu melewati tahap-tahap yang kompleks, namun dalam konteks tulisan ini, cukuplah direduksi menjadi semacam cara-cara untuk menemukan fakta-fakta yang mungkin salah dalam sebuah informasi yang berpotensi mengandung unsur hoaks.

Sebagai contoh dalam kasus puisi yang diberi atribusi Sri Mulyani Indrawati di atas. Pertama adalah mengupayakan konfirmasi dari Sri Mulyani. Jika yang bersangkutan tak bisa dikonfirmasi, pembaca langsung meneliti apakah Sri Mulyani punya kegemaran menulis puisi.

Namun, karena isi puisi itu cuma sekumpulan wejangan spiritual yang tak ada buruknya buat pembaca dari latar belakangan mana pun, tak perlulah menelisik tentang potensi hoaks dari uanggahan yang viral lewat media sosial WhatsApp itu.

Apa yang dikemukakan oleh Dadang Sunendar tentu berkorelasi dengan metode falsifikasi Karl Popper. Artinya, hanya orang yang berpengetahuan luas dan dalam yang bisa melakukan falsifikasi terhadap informasi yang berpotensi mengandung anasir hoaks.

Itu bisa diibaratkan secara sederhana dengan narasi berikut ini. Jika anda pernah belajar ilmu kedokteran, anda tak akan dengan mudah menelan beragam informasi yang menyatakan bahwa daun sirsak bisa menyembuhkan beragam jenis kanker, serbuk cula badak dapat digunakan untuk meningkatkan potensi kejantanan pria.

Jadi, menangkal hoaks sesungguhnya simpel belaka: tingkatkan daya berpikir dan perluas horison pengetahuan anda.*


Baca juga: Polisi tangkap penyebar hoaks penculikan anak

Baca juga: Polisi Pontianak ringkus perempuan tersangka penyebar hoaks



 


 

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018