"Bagi kami persidangan kasus ini patut diapresiasi, dimana untuk pertama kalinya kejahatan satwa liar menggunakan pendekatan tindak pidana pencucian uang. Artinya kami mengapresiasi upaya-upaya penegak hukum dan ini membuktikan bahwa kejahatan ini bersifat transnasional dan terorganisir," kata Koordinator Wildlife Crime Team (WCT), Osmantri, kepada Antara di Pekanbaru, Kamis.
WCT adalah sebuah unit kerja pada program WWF di Sumatera Tengah, yang sejak awal memantau persidangan kasus perdagangan trenggiling di Provinsi Riau. Dalam kasus tersebut, pelaku utama yakni M. Ali Honopiah menjalani dua persidangan, yang pertama untuk memperdagangkan satwa dilindungi dan kedua untuk pencucian uang dari tindak pidana itu.
Ali Honopiah, yang masih tercatat sebagai anggota polisi berpangkat brigadir di Mapolres Indragiri Hilir, divonis tiga tahun penjara untuk kasus perdagangan trenggiling, sedangkan pada kasus pencucian uang ia divonis dua tahun penjara dan denda Rp800 juta.
"Hal ini selaras dengan komitmen yang digaungkan oleh banyak pihak, termasuk kepolisian. Kami melihat kepolisian sangat responsif sekali dengan perdagangan satwa liar saat ini," kata Osmantri.
Hanya saja, Osmantri menilai bahwa untuk ke depan dalam penanganan kasus perdagangan satwa memerlukan kerja sama lintas negara dalam hal ini Interpol. Sebabnya, dalam fakta persidangan terungkap ada pihak pembeli trenggiling yang memotivasi pelaku. Salah satu pembeli disebut salah satu warga negara Malaysia.
"Orang-orang di luar selalu berikan motivitas ke orang di Indonesia, dari berbagai latar belakang apapun, untuk melakukan tindak pidana ini. Orang luar itu harus dikejar dan diusut," katanya.
Baca juga: Balai KSDA Kaltim Musnahkan Trenggiling Hasil Perdagangan Ilegal
Baca juga: Penyelundup 101 trenggiling divonis tiga tahun penjara
Pewarta: Febrianto Budi Anggoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018