• Beranda
  • Berita
  • Cara Sintang mengelola perkebunan sawit berkelanjutan

Cara Sintang mengelola perkebunan sawit berkelanjutan

22 November 2018 07:48 WIB
Cara Sintang mengelola perkebunan sawit berkelanjutan
Bupati Sintang Jarot Winarno berbincang mengenai pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dengan beberapa wartawan peserta media trip WWF Indonesia di Sintang, Rabu (21/11/2018) malam. (ANTARA News/Yashinta Difa)

Saat ini yang paling sulit justru mengedukasi petani sawit mandiri agar mereka tidak melakukan ekspansi lahan untuk meningkatkan produktivitas

Sintang (ANTARA News)  - Pemerintah Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, memberlakukan regulasi pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dengan menyeimbangkan aspek ekonomi, konservasi, dan sosial budaya.

"Sawit harus dipandang sebagai komoditas yang dikelola secara berkelanjutan," kata Bupati Sintang Jarot Winarno saat berbincang dengan beberapa wartawan peserta media trip WWF Indonesia di Sintang, Kalimantan Barat, Rabu (21/11) malam.

Bersama dengan tujuh kabupaten lainnya, Sintang adalah pendiri Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), sebuah asosiasi pemerintah kabupaten yang bertujuan mendukung dan menerapkan produksi minyak sawit berkelanjutan.

Seperti banyak daerah di Indonesia, kelapa sawit adalah penggerak utama ekonomi di Sintang, yang menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat dan pekebun baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan data statistik 2017, produksi minyak sawit di Sintang mencapai 935.941 ton yang berasal dari 168.107 hektare lahan.

Sintang memiliki pekebun besar yang mengelola sekitar 9.000 hektare dan lebih dari 1.000 rumah tangga petani mandiri.

Pengembangan 2.000 hektare perkebunan kelapa sawit skala kecil tercantum dalam Rencana Strategis Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Sintang 2017-2021.

Saat ini, izin konsesi telah diberikan kepada 47 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mencakup 500 ribu hektare lahan, dengan 177 ribu hektare diantaranya yang telah dibudidayakan di Kabupaten Sintang.

Pengembangan perkebunan kelapa sawit yang cepat di Sintang menuntut perusahaan dan petani baik plasma maupun mandiri untuk menerapkan praktik-praktik pengelolaan berkelanjutan untuk menghindari dampak negatif terhadap lingkungan.  Seperti perusahaan besar, kegiatan kelapa sawit petani kecil juga dapat membahayakan lingkungan. 

"Saat ini yang paling sulit justru mengedukasi petani sawit mandiri agar mereka tidak melakukan ekspansi lahan untuk meningkatkan produktivitas," ujar Jarot.

Baca juga: Industri sawit berkelanjutan bertumpu pada petani kecil

Oleh karena itu, Pemkab Sintang bersama sejumlah pelaku kepentingan salah satunya WWF Indonesia, berkomitmen dalam implementasi aspek-aspek keberlanjutan termasuk legalitas dan kesejahteraan masyarakat dalam rantai pasokan minyak sawit. 

Komitmen ini dibuat konkret dengan menerapkan standar sertifikasi wajib Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)  dan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang bersifat sukarela.

Selain itu, Jarot juga telah mengeluarkan Peraturan Bupati Sintang Nomor 57 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pembukaan Lahan bagi Masyarakat untuk mengendalikan kegiatan pembakaran lahan demi mengakomodasi kepentingan adat.

Baca juga: Ini cara Indonesia promosikan industri sawit berkelanjutan pada akademisi Eropa

Baca juga: BPDP-KS sebut industri sawit bantu Indonesia capai SDGs

Baca juga: BPDPKS: Produktivitas sawit tertinggi dibandingkan minyak nabati lain


 

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2018