"Sekarang, para pendidik menghadapi tantangan yang semakin kompleks," ujarnya pada puncak peringatan Hari Guru dan Anugerah Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Berprestasi 2018 di Surabaya, Minggu (25/11) malam.
Dua hal tersebut, kata dia, harus direspons oleh guru agar dapat menjadi pendidik berparadigma milenial.
Terlebih, katanya, manusia kini hidup di dua dunia, yaitu dunia nyata dan dunia maya.
Menurut dia, globalisasi berpengaruh positif, tapi di sisi lain juga membawa paham-paham yang tidak saja bertolak belakang dengan nilai-nilai keindonesiaan, namun juga nilai agama yang dianut masyarakat bangsa ini.
"Pengaruh dari luar yang semakin mudah masuk mengundang masuknya liberalisasi, sekularisasi, dan transnasionalisme yang negatif ke ruang pribadi keluarga. Bila tidak diwaspadai maka akan merusak tatanan kehidupan dan nilai-nilai yang kita anut," ucapnya.
Yang kedua, lanjut dia, disrupsi teknologi yang ditandai munculnya berbagai inovasi perangkat yang berbasis kecerdasan buatan dan anak didik tak bisa dilepaskan dari perangkat digital virtual dalam hidupnya.
"Dalam dunia pendidikan era ini bisa positif, tapi dapat menyebabkan dehumanisasi atau ketercerabutan sisi kemanusiaan dari diri bangsa. Seperti saat berkumpul dengan keluarga, tapi tidak saling bicara karena sibuk dengan gawai," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, fenomena tersebut membuat pendidik mendapat tantangan serius sehingga dituntut lebih memberikan perhatian terhadap persoalan tersebut, termasuk guru harus dapat meneguhkan posisi anak didik agar tetap berada dalam jati diri bangsa Indonesia yang religius dan agamis.
"Saya ingin menegaskan kepada para pendidik agar menyadari tantangan globalisasi dan disrupsi teknologi, lalu menyikapinya dengan benar dengan menjaga jati diri kebangsaan dan keislaman," katanya.*
Baca juga: Praktisi: teknologi jadi tantangan guru era disrupsi
Baca juga: Disrupsi teknologi tantangan sekaligus peluang
Pewarta: Fiqih Arfani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018