• Beranda
  • Berita
  • Psikolog: Radikalisme telah memapar generasi milenial

Psikolog: Radikalisme telah memapar generasi milenial

30 November 2018 21:29 WIB
Psikolog: Radikalisme telah memapar generasi milenial
Psikolog Anak dan Remaja, Arijani Lasmawati (tengah) menjadi pembicara dalam diskusi 'Muslim Milenial: Menguatnya Radikalisme dan Tantangan Wawasan Kebangsaan' yang digelar Rumah Demokrasi bersama Institut Demokrasi Republikan (ID-Republikan) di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Jumat (30/11/2018). (Istimewa)
Jakarta (ANTARA News) - Psikolog Anak dan Remaja, Arijani Lasmawati, menyebutkan, radikalisme telah memapar generasi milenial di Indonesia, terutama dari kalangan Muslim.
 
"Hasil temuan saya dari 18 orang dari kaum milenial yang terpapar radikalisme bahkan sudah on side (pada posisi) melakukan terorisme," kata Arijani dalam diskusi 'Muslim Milenial: Menguatnya Radikalisme dan Tantangan Wawasan Kebangsaan' yang digelar Rumah Demokrasi bersama Institut Demokrasi Republikan (ID-Republikan) di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Jumat.
 
Arijani yang juga peneliti radikalisme, menjelaskan, penelitian terhadap generasi milenial 12-18 tahun ini juga mengungkap bahwa salah satu penyebab mereka terpapar radikalisme adalah akibat penggunaan teknologi.
 
"Kenapa mereka terpapar, karena perkembangan teknologi yang justru menyebarkan (membuat negara) sekuler," ucapnya, dalam siaran persnya. 
 
Hasil penelitian juga menunjukkan, peran orangtua dan lingkungan cukup signifikan mempengaruhi generasi muda sehingga menjadi radikal. Selain itu, tidak adanya pengaruh positif dari lingkungan keluarga, juga menjadi penyebab.
 
"Salah satu penyebab generasi milenial menjadi radikal ialah adanya orang yang dianggap bermakna di luar familinya. Ini terjadi karena figur di keluarganya tidak ada yang ia idolakan," tuturnya. 
 
Adanya kelompok radikal yang tengah menaungi lingkungan pergaulan sehari-hari milenial juga turut berkontribusi membuat mereka terpapar radikalisme. Hadirnya doktrin dan bacaan bernafaskan radikalisme pun menjadi faktor, terlebih generasi muda yang kini semakin gemar membaca. 
 
Di samping itu, faktor ekonomi juga menjadi alasan pemahaman ini dianut anak muda. 
 
"Keterbatasan akses politik juga bisa menjadi penyebab. Contoh ada wakil rakyat yang punya konstituen tapi tidak tersampaikan aspirasi konstituennya. Makanya mereka pakai cara lain agar suara mereka bisa didengarkan. Dualisme masyarakat juga bisa jadi penyebab, misalnya ada yang kontra pada tindakan terorisme tapi tak sedikit yang pro terorisme," jelas Arijani. 
 
Selain diskusi, pada kesempatan yang sama turut dihelat deklarasi menentang radikalisme oleh Rumah Demokrasi. Mereka mengaku siap menjadi garda depan menghadapi pihak-pihak yang menganggu Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama oleh kelompok radikal seperti terorisme maupun separatisme.
 
"Kami mendukung pemerintah memelihara dan menjaga stabilitas politik sosial dan keamanan ketertiban masyarakat jelang Pemilu 2019," kata perwakilan Rumah Demokrasi, Endah.

Baca juga: Kapolda Malut ke kampus cegah radikalisme
Baca juga: Individualisme dalam kampus jadi jalan masuk radikalisme
Baca juga: Kearifan lokal bisa jadi daya tangkal radikalisme dan terorisme

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018