Mereka adalah Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), dan Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas (PPUAD).
Penyandang disabilitas Samsinar di Jakarta, Senin, mengatakan mereka menilai, transisi menuju pemulihan Sulawesi Tengah pascabencana adalah momentum untuk merancang ulang ruang dan wilayah yang lebih ramah bagi semua orang.
"Ruang dan wilayah yang aksesibel, dapat dijangkau, dilalui, dan digunakan tanpa hambatan dan risiko bahaya," kata dia.
Menurut mereka, aksesibilitas bukan suatu hal istimewa atau eksklusif untuk penyandang disabilitas. Aksesibilitas dimaksudkan bahwa ruang, sarana dan fasilitas publik, termasuk jalan raya dan transportasi, dapat diakses oleh semua orang, bagi penyandang disabilitas dan bukan penyandang disabilitas.
“Misal saja, jalan berbatu dan berlubang besar, itu berbahaya bagi semua orang, bukan hanya penyandang disabilitas,” kata Samsinar.
Begitu juga toilet berpintu kecil dan berdimensi sempit, bakal menyesakkan semua pengguna, kediaman atau gedung dengan terlalu banyak tangga dan tanpa tanjakan landai, menyulitkan semua orang, angkutan kota dengan hanya satu pintu untuk masuk dan keluar, berbahaya bagi semua penumpang.
Karena itu, kelima organisasi meminta agar pemerintah menaati peraturan perundang-undangan yang telah diterbitkan untuk menjamin aksesibilitas tersebut.
Keduanya adalah UU No. 19 tahun 2011 yang meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas dan UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kedua undang-undang tersebut mengakui dan melindungi hak-hak penyandang disabilitas dalam segala situasi, termasuk upaya-upaya pengurangan risiko dan penyelamatan dari bencana.
Para disabilitas tersebut telah melakukan kunjungan ke hunian sementara untuk kolektif memastikan bahwa pemerintah tak melalaikan kewajiban yang dimaksud dalam undang-undang.
Hunian yang dibangun di Sigi ini adalah salah satu hunian kolektif bagi keluarga penyintas bencana alam 28 September yang kehilangan rumah.
Pada tahap pertama ada 1.200 huntara yang diperkirakan akan memuat 14.400 keluarga di Palu, Sigi dan Donggala. Sebelumnya dilaporkan bahwa huntara kolektif mengabaikan beberapa hal dasar aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, orang lanjut usia, perempuan hamil dan anak-anak.
Pembangun hunian sementara kolektif diharapkan mematuhi standar yang dimandatkan undang-undang dan ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen-PUPR) semisal tersedianya toilet duduk, pintu yang cukup lebar untuk masuk kursi roda baik di unit hunian maupun di toilet, penerangan yang memadai di seluruh kawasan dan ruang, jalanan yang rata dan tak ada tangga yang menyulitkan pengguna kursi roda melintasinya.
“Kami bukan sedang menuntut keistimewaan. Kami memperjuangkan kemudahan akses bersama, sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang dan diakui dunia sebagai hak yang universal,” kata Samsinar.
Pemenuhan hak akses bagi semua orang di huntara ini menjadi salah satu indikator apakah pemerintah dapat dipercaya akan menata fasilitas pascabencana menjadi kota dan wilayah yang lebih ramah.
Baca juga: Kemensos siapkan panduan fasilitas umum ramah difabel
Baca juga: Presiden dorong penyediaan fasilitas umum ramah difabel
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018