Jakarta (ANTARA News) - Tenaga Ahli Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan masih banyak yang salah dalam memahami Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), termasuk beberapa orang di eksekutif maupun legislatif.Dengan prinsip gotong royong, maka seharusnya yang lebih kaya iuran lebih banyak. Yang lebih sakit harus dapat layanan kesehatan lebih banyak."
"JKN belum dipahami sebagai sebuah sistem asuransi publik. JKN masih banyak diperbandingkan dengan asuransi komersial," kata Hasbullah dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa.
Hasbullah mengatakan ciri utama asuransi komersial adalah iuran yang dibayarkan pesertanya sesuai dengan risiko kesehatan yang dimiliki suatu kelompok.
Sedangkan asuransi sosial menggunakan prinsip gotong royong, salah satunya melalui iuran tanpa memandang risiko kesehatan yang dihadapi pesertanya.
"Orang sakit harus diobati. Tentu orang lanjut usia 70 tahun, akan menggunakan biaya kesehatan lebih banyak daripada iurannya," tuturnya.
Menurut Hasbullah, JKN menggunakan pembiayaan publik dengan prinsip gotong royong. Namun, masih ada kesalahpahaman yang perlu dikaji dan disamakan persepsinya.
"Dengan prinsip gotong royong, maka seharusnya yang lebih kaya iuran lebih banyak. Yang lebih sakit harus dapat layanan kesehatan lebih banyak," katanya.
Hasbullah menjadi salah satu narasumber dalam diskusi "Bergandengan Tangan Selamatkan Jaminan Kesehatan Nasional" yang diadakan Perkumpulan Prakarsa bekerja sama dengan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) dan Sekolah Kajian Stratejik dan Global PKJS UI.
Selain Hasbullah, narasumber lainnya adalah Kompartemen JKN Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia Fajaruddin Sihombing, Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief, Direktur Eksekutif Prakarsa AH Maftuchan dan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Sigit Priohutomo.
Baca juga: Penerima bantuan iuran jaminan kesehatan bertambah menjadi 96,8 juta
Baca juga: DJSN sarankan BPJS Kesehatan gaet perusahaan swasta
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019