Narapidana dan tahanan sebanyak itu mendiami 522 lapas dan rutan yang tersebar di berbagai wilayah.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sri Puguh Budi Utami mengungkapkan bahwa tren tingkat hunian lapas dan rutan tersebut terus mengalami kenaikan.
"Naik terus, tidak pernah turun," kata Dirjen Pemasyarakatan saat melantik pengurus Ikatan Pembina Kemasyarakatan Indonesia (Ipkemindo) wilayah Jawa Tengah di Semarang, Kamis (31/1).
Penurunan penghuni lapas, kata dia, hanya terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak dari yang sebelumnya antara 10 ribu hingga 11 ribu orang, saat ini turun menjadi sekitar empat ribu orang.
Menurut dia, hal tersebut merupakan bagian dari keberhasilan dari program Restorative Justice.
Ia mengatakan permasalahan yang saat ini dihadapi yakni dari 259 ribu penghuni lapas dan rutan tersebut, sebagian besar tersangkut perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
"Dari sekitar 259 ribu penghuni lapas dan rutan, 115 ribu orang di antaranya tersangkut kasus narkotika," katanya.
Dari jumlah penghuni yang tersangkut kasus narkotika itu, kata dia, 46 ribu orang di antaranya merupakan penggunan narkotika yang seharusnya direhabilitasi.
Padahal, lanjut dia, undang-undang tentang narkotika memberi mandat seharusnya para pengguna narkotika ini direhabilitasi.
Menurut dia, selama puluhan ribu pengguna ini masih menjalani hukuman di dalam lapas, mereka pasti akan mencari pemenuhan kebutuhan mereka dengan cara apa pun.
Ia menambahkan peredaran narkotika di dalam lapas masih akan terjadi jika para pengguna ini masih berada di dalamnya.
"Selama pengguna masih di dalam, ada oknum yang lemah integritasnya, capek kita," katanya.
Ia menuturkan para pengguna tersebut sebenarnya memungkinkan untuk direhabilitasi di dalam lapas.
Namun, lanjut dia, rehabilitasi kesehatan dan sosial itu belum didukung dengan sumber daya lainnya.
Ia menjelaskan jika para pengguna ini menjalani rehabilitasi maka tingkat kepadatan 522 lapas dan rutan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia tersebut akan berkurang.
Ketidaktelitian
Praktisi hukum Yosep Parera menilai banyaknya pelaku penyalahgunaan narkotika yang menjalani hukuman pidana padahal seharusnya masuk dalam kategori pemakai diakibatkan oleh ketidaktelitian jaksa dalam menyusun dakwaan dan tuntutan dalam persidangan.
Menurut dia, jaksa mendakwa para pemakai ini dengan pasal yang seolah-olah mereka ini merupakan pengedar.
"Mereka ini pesakitan yang harus diobati melalui rehabilitasi medis maupun sosial," kata pendiri Rumah Pancasila ini.
Kondisi tersebut, lanjut dia, ditambah dengan ketidakberanian hakim untuk memutuskan para pemakai ini harus direhabilitasi.
"Menjadi tugas negara untuk merehabilitasi para pemakai ini, bukan dengan memidanakan," katanya.
Ia menambahkan memenjarakan pemakai bukan merupakan jalan keluar.
Ia juga mendorong kepada hakim untuk berani mengambil keputusan sesuai dengan fakta persiangan.
"Ada yurisprudensi yang bisa digunakan hakim dalam memutuskan itu," kata Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Semarang ini.
Ia menjelaskan hakim dapat berpatokan pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di Dalam Lembaga Rehabilitas Medis dan Rehabilitas Sosial.
Ia menilai dengan dasar tersebut hakim bisa menjatuhkan hukuman paling ringan, berupa rehabilitasi, terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika yang terbukti sebagai pengguna.
"Jangan hanya yang berduit saja yang bisa menjalani rehabilitasi, tetapi yang tidak berduit harus dipenjara," tegasnya.
Tidak Berhenti
Penanganan pelaku penyalahgunaan narkotika tidak hanya berhenti pada pelaksaan rehabillitasi.
Meski tidak diatur secara khusus, penanganan pascarehabilitasi dinilai penting untuk memastikan agar para mantan pengguna tidak kembali terjerumus.
Salah satu penanganan pascarehabilitasi dilaksanakan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN).
Kepala Seksi Pascarehabilitasi BNN Provinsi Jawa Tengah Sardiyanto mengatakan program layanan pascarehab selama ini sudah berjalan.
Selama 2018, kata dia, tercatat 50 orang mengikuti program pascarehab secara reguler.
Sementara untuk program pascarehab intensif hanya diikuti oleh 19 orang.
"Untuk yang intensif ini target pesertanya tidak terpenuhi karena sejumlah kendala, misal karena kurangnya kesadaran" katanya.
Ia menyebut sejumlah kendala dalam pelaksanaan program pascarehabilitasi ini, seperti kurangnya pemahaman lembaga rehabilitasi tentang pelaksanaan rehab berkelanjutan.
Menurut dia, banyak kegiatan yang disiapkan bagi para mantan pengguna tersebut agar bisa kembali produktif di masyarakat.
Ia memastikan komunikasi dengan para mantan pengguna tersebut tetap terjaga untuk memudahkan pemantauan.
"Selama program, kami juga melakukan tes urine secara berkala untuk memastikan mereka tidak kembali menggunakan," katanya.
Pada 2019 ini, BNN menggunakan metode jemput bola ke berbagai daerah dalam pelaksanaan program pascarehab.
Selain melaksanakan program pascarehab, pihaknya juga mendampingi lembaga-lembaga rehabilitasi agar metode yang mereka laksanakan itu terstandarisasi.
Hingga saat ini, belum didapati mantan pecandu peserta program pascarehabilitasi yang kembali lagi menggunakan narkotika.*
Baca juga: Menguatkan strategi pemberantasan narkoba
Baca juga: Tembak mati belum berikan efek jera bagi pengedar narkoba lainnya
Pewarta: Immanuel Citra Senjaya
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019