"Kita butuh undang-undang yang tegas dan komprehensif yang melandaskan pada nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya bangsa bukan dengan peraturan yang ambigu dan dipersepsi kuat berangkat dari paham/ideologi liberal-sekuler yang sejatinya bertentangan dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia itu sendiri," kata Jazuli dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan dalam draft RUU tersebut mendefinisikan kekerasan seksual pada Pasal 1 huruf a. sebagai "Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik".
Menurut dia definisi itu dikritisi FPKS karena pertama, tidak fokus, melebar ke permasalahan di luar tindak kejahatan seksual seperti ekses:
pernikahan, kontrasepsi, dan aborsi.
Kedua, dia mengatakan tidak memberikan batasan mengenai istilah "merendahkan" padahal kata tersebut cenderung subyektif/relatif sehingga berpotensi disalahgunakan, dan tidak memperhitungkan resiko korban dapat kehilangan nyawanya oleh tindakan kejahatan seksual.
Ketiga, memasukkan unsur 'hasrat seksual' yang luas yang dapat berimplikasi pada sikap permisif terhadap perilaku seksual yang menyimpang. Keempat, menggunakan istilah 'relasi kuasa' yang dapat disalah-pahami dengan 'relasi suami-istri' sehingga berpotensi menimbulkan polemik dalam kehidupan berumah-tangga.
Dia mengatakan FPKS telah mengajukan usulan definisi menjadi kejahatan seksual adalah setiap perbuatan terhadap tubuh dan fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam
keadaan bebas, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, bahkan kehilangan nyawa.
Merujuk definisi tersebut, menurut dia fraksinya telah mengusulkan penggunaan istilah kejahatan seksual untuk menggantikan istilah kekerasan seksual dengan alasan menggambarkan unsur kesalahan dan derajat tindak pidana yang lebih tegas sehingga dapat mempermudah dalam perumusan delik dan pemenuhan unsur-unsur pidana dalam pembuktian.
"Istilah kejahatan seksual lebih memenuhi kriteria darurat kejahatan seksual yang sedang terjadi di masyarakat, lebih tepat untuk digunakan dibandingkan dengan istilah kekerasan seksual sehingga perlu untuk mengganti judul menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual," katanya.
Jazuli menilai dengan penamaan RUU Kejahatan Seksual sebagaimana telah diusulkan Fraksi PKS, fokus RUU tidak melebar ke isu-isu di luar kejahatan seksual, fokus hanya pada tindak kejahatan seksual yaitu pemerkosaan, penyiksaan seksual, penyimpangan perilaku seksual, pelibatan anak dalam tindakan seksual, dan inses.
Pembatasan tersebut menurut dia sekaligus memperjelas jenis tindak pidana dalam RUU sehingga tidak membuka tafsir bebas sebagaimana yang dikritik masyarakat luas saat ini.***2***
Baca juga: Soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, putri Gus Dur pertanyakan sikap FPKS
Baca juga: FPKS tolak draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2019