Media dan tantangan teknologi abad milenial

9 Februari 2019 17:11 WIB
Media dan tantangan teknologi abad milenial
World Press Freedom Day (WPFD). (unesco.org)
Surabaya (ANTARA News) - Pelaksanaan Hari Pers Nasional (HPN) 2019 yang dipusatkan di Surabaya, Jawa Timur memunculkan sejumlah ide dan gagasan terkait keberlangsungan media dan tantangannya di zaman kekinian atau biasa disebut dengan milenial.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata milenial berkaitan dengan milenium, atau generasi yang lahir di antara tahun 1980-an dan 2000, dengan ciri kehidupannya yang tidak dapat dilepaskan dari teknologi informasi, terutama internet atau media daring/online.

Tentunya, dunia kewartawanan atau jurnalistik terkini juga tidak akan luput dari kemajuan teknologi. Artinya, wartawan milenial dalam pola kerjanya pasti memanfaatkan beragam teknologi yang terkini.

Sebut saja, teknik "stenografi" atau biasa dikenal dengan steno, yakni tata cara penulisan dengan menyingkat kata-kata yang bermanfaat pada saat wawancara dengan narasumber, dan dulunya menggunakan pola berbasis tulisan tangan.

Kini, teknik itu sudah berubah dengan basis gawai atau telepon pintar, sehingga rata-rata wartawan saat ini lebih mengenal aplikasi "Google Voice" daripada teknik itu, yakni wartawan bisa merekam hasil wawancara narasumber, kemudian keluarannya dalam bentuk tulisan langsung, hanya tinggal mengedit beberapa kata tanpa harus dituliskan di secarik kertas, atau berbasis tulisan tangan dengan medium bolpoint.

Di zaman kini, apabila wartawan menerima press realease atau keterangan pers dalam bentuk "hard copy" (lembaran kertas) mereka tidak terlalu bingung untuk mengubahnya dalam bentuk "soft copy" (file) tanpa mengetik ulang, sebab ada aplikasi berbasis android yang bernama "Text Fairy".

Aplikasi ini mampu mengubah tulisan lembaran yang awalnya hard copy menjadi teks secara langsung tanpa mengetik, dan hanya memfoto tulisan tersebut kemudian diproses dan jadilah tulisan soft.

Pastinya, ada banyak lagi fasilitas-fasilitas yang bisa dimanfaatkan para pekerja pers untuk mempermudah pekerjaanya.

Dan semuanya sudah menjadi satu dalam telepon pintar yang mereka genggam, termasuk fasilitas pengambilan gambar disertai edit foto, video dan suara, tanpa perlu komputer yang memerlukan halaman luas di meja.

Wartawan senior asal Jawa Timur yang juga pengajar dunia jurnalistik di Asosiasi Wartawan Surabaya (AWS), Zaenal Arifin Emka menyebut wartawan memang harus berkembang mengikuti zamannya, dan itu hukumnya wajib.

"Teknologi akan terus berkembang, wartawan mau tidak mau harus mengikuti perkembangan zaman, dulu ada perekam suara, namun saat ini apa itu masih relevan atau tidak, termasuk teknik steno," kata Zaenal yang juga mantan wartawan Surabaya Post tersebut.

Namun demikian, tantangan wartawan setiap tahun bukan ada pada teknologi aplikasi, melainkan sumber daya manusia (SDM)-nya. Artinya, wartawan atau media secara institusinya harus mempunyai kelebihan dalam hal kedalaman, akurasi dan ketelitan beritanya.

Ia mengakui, kemajuan teknologi saat ini membuat banyak berita tersebar dengan mudah dan cepat. Informasi secuil pun bisa didapat secara terkini, dan publik langsung mengetahui, ditambah pola pembuatan berita yang sangat mudah.

Masyarakat biasa pun kini mampu melaksanakan sebagian kecil tugas jurnalistik, yakni membuat informasi lalu menyebarkan hanya melalui sentuhan jari.

Hal ini, tidak hanya dilakukan oleh wartawan, namun masyarakat biasa pun juga bisa mengirim berita yang bersifat informasi, dan merupakan bagian kecil tugas wartawan.

Oleh karena itu, kata Zaenal, wartawan saat ini harus mempunyai hal yang beda dibanding dengan masyarakat pada umumnya, seperti ada pandangan-pandangan yang ditampilkan dalam setiap pembuatan berita.

"Informasi secuil yang datang secara cepat itu memang oke, seperti bencana banjir atau kemacetan. Agar bisa memberi tahu orang di luar sana untuk bisa menghindarinya," katanya.

Namun, bagi wartawan, informasi itu tidak hanya sekedar secuil, harus ada konteks serta kedalaman, atau pandangan lain dari suatu berita.

"Anggapan kini banyak yang salah, yakni berita yang cepat dan pendek tidak butuh kedalaman. Pendek boleh, tapi ada isu dan butuh kedalaman" katanya.

Ia mengamati, ada hal yang hilang di tengah kemajuan teknologi pembuatan berita, yakni kedalaman serta pandangan-pandangan lain dari sebuah berita.

"Saya contohkan kasus bom bunuh diri di Surabaya beberapa waktu lalu. Bagi publik informasi itu memang butuh kecepatan, namun publik juga butuh kedalaman apa motifnya dan mengapa sampai melibatkan satu keluarga. Dan itulah tugas wartawan," tuturnya.



Dewan Pers

Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo pun demikian, ia mengakui perkembangan teknologi saat ini pasti mempunyai sisi negatif dan positif.

Ia menyebut, mudahnya sebaran berita membuat setiap orang semakin gampang membuat berita dan disebarkan, namun demikian dia mengaku prihatin dengan perkembangan media dalam kurun lima tahun terakhir, karena banyaknya bermunculan hoaks atau berita palsu.

"Pada saat tensi politik tinggi, hoaks  selalu marak dan diproduksi oleh situs-situs yang mengaku sebagai situs berita, kemudian banyak dikutip dan disebarluaskan, akibatnya masyarakat sulit membedakan mana yang benar dan mana yang palsu," katanya.

Hoaks yang belakangan muncul di berbagai media telah masuk dalam taraf cukup mengkhawatirkan masyarakat, karena berita bukan hanya menyangkut prasangka, melainkan sudah bercampur paham radikalisme dan ajakan melakukan aksi kekerasan.

"Hal ini tidak bisa terus dibiarkan, karena yang paling dirugikan adalah hak publik atas informasi yang benar," katanya.

Untuk itu, kata dia, Dewan Pers mendorong agar otoritas kebenaran faktual dikembalikan kepada media utama yang terverifikasi di Dewan Pers, dan nilai luhur profesi jurnalis harus dikembalikan kepada wartawan yang berkompetensi dan meningkatkan diri pada nilai profesionalisme.

Yosep menyebut, Indonesia merupakan negara di dunia yang memiliki banyak media dengan perkiraan berjumlah 47 ribu media yang terbagi dari berbagai model, namun yang terverifikasi masih sebanyak 2.400 media.

Banyaknya media saat itu, mengakibatkan terjadinya perekrutan wartawan yang banyak pula, namun tidak diikuti dengan kesiapan yang matang, seperti belum mengenyam pendidikan jurnalistik, akibatnya banyak bahan media yang menjiplak atau kloning dari media lainnya.

Oleh karena itu, Yosep mengingatkan, bahwa insan pers dan wartawan Indonesia adalah bagian dari perjuangan untuk membentuk kesatuan bangsa.

"Bahwa saat ini platform media akan terus mengalami perubahan seiring kemajuan zaman memang betul, namun saya yakin jurnalisme akan terus ada. Dan tugas utama wartawan adalah menjaga serta merawat kebangsaan Indonesia, dengan tetap menyampaikan kritik serta pandangan-pandangan yang membangun," katanya.*


Baca juga: Perkuat ekonomi kerakyatan dengan "memanfaatkan" pers

Baca juga: Industri media, yang pernah aktif, di Pakistan merosot tajam


 

Pewarta: A Malik Ibrahim
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019