Melestarikan kearifan lokal "Gumi Sasak"

13 Februari 2019 20:19 WIB
Melestarikan kearifan lokal "Gumi Sasak"
Sejumlah laki-laki memainkan musik tradisional Gendang Beleq Sasak Lombok di Mataram, NTB. Gendang Beleq ialah salah satu kesenian musik tradisional Suku Sasak yang pada zaman dahulu biasanya dimainkan sebagai penyemangat prajurit yang akan pergi berperang. Saat ini kesenian ini banyak digunakan sebagai musik pengiring dalam suatu perhelatan acara serta upacara adat seperti pernikahan dan sunatan. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)
Pulau Lombok yang dihuni mayoritas etnis Sasak memiliki keragaman kearifan lokal. Sejatinya local wisdom itu hingga kini masih dipegang teguh dan cukup berperan dalam mengatur kehidupan masyarakat di "Gumi Sasak".

Kearifan lokal itu cukup berperan dakan mengatur sistem sosial kemasyarakatan etnis Sasak yang mendiami Pulau Lombok. Sasak yang berasal dari frasa "Sak-Sak" bermakna jalan lurus atau jalan sejati yang harus dilalui demi keselamatan dunia dan akhirat.

"Gumi Sasak" bermakna yang menjadi tempat tinggal etnis Sasak. Pada masyarakat Sasak, kearifan lokal merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat sasak memerlukan cara-cara yang arif dan bijaksana.

Kearifan lokal dalam kehidupan enis Sasak juga tercermin dalam khazanah seni dan budaya. Karena itu pesan moral kebaikan dari kearifan lokal itu terasa kental dalam kehidupan berkesenian dan kebudayaan yang tetap lestari dalam kehidupan masyarakat etnis Sasak di Pulau Lombok.

Untuk itu penanaman nilai-nilai kearifan lokal sejak dini kepada kalangan generasi muda mutlak dilakukan agar tetap lestari sekaligus untuk membentengi generasi muda dari pengaruh negatif era globalisasi.

Ketua Majelis Adat Sasak Provinsi NTB Lalu Bayu Windia mengatakan etnis Sasak memiliki budaya dan seni yang kental dengan pesan moral, sehingga kearifan lokal ini penting ditanamkan dalam kehdupan masyarakat.

Ia menuturkan suku Sasak sebagai penduduk mayoritas Pulau Lombok memiliki keragaman budaya dan seni yang kaya akan nilai moral yang perlu dijadikan acuan dalam kehidupan masyarakat agar tercipta keharmonisan dalam keberagaman.

Untuk itu Majelis Adat Sasak (Lombok) bersama pemerintah daerah melalui dinas pariwisata, dinas pendidikan dan kebudayaan NTB melakukan berbagai program yang bersentuhanan dengan upaya melestarikan seni dan budaya.

Bayu Windia menilai hingga kini masyarakat adat sasak masih memegang teguh budaya dan kearifan lokal yang dimiliki. Inilah yang ingin dijaga dan pertahankan agar warisan leluhur ini akan selalu ada dan tetap ada serta tetap terjaga kelestariannya.

Gencarnya gempuran budaya luar, menurut Bayu Windia, menjadi tantangan tersendiri bagi Majelis Adat Sasak. Karena itu berbagai program maupun langkah strategis dilakukan untuk mengurangi dampak negatif budaya luar tersebut.

Upaya yang dilakukan Majelis Adat Sasak itu agaknya sejalan dan selaras dengan kegiatan yang dilakukan pemuda Pemuda Desa Sesela, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat yang menggelar budaya klasik "Nguwur Siq Kesangkur" dalam rangka melestarikan kearifan lokal desa itu.

"Nguwur siq kesangkur"

Pemuda Sesela mengeglar Parade Budaya Klasik 2019 bertajuk `Nguwur Siq Kesangkur" yang bermakna "Mengumpulkan Yang Berserakan" sebagai salah satu upaya menjaga kelestarian budaya di Seseka dan Lombok umumnya.

Tokoh agama Lombok Barat TGH Munajib Kholid meminta para generasi muda di Desa Sesela, Kecamatan Gunungsari kembali bersemangat dalam mengajarkan dan mempelajari tradisi luhur yang diajarkan para nenek moyang warga Sesela tersebut.

Tokoh agama yang juga Ketua Baznas Provinsi NTB itu mendukung pelaksanaan Parade Budaya Klasik 2019 bertajuk `Nguwur Siq Kesangkur` untuk dijadikan kegiatan budaya tahunan di Desa Sesela, sebab hal itu akan mampu menumbuh kembangkan kekayaan budaya asli warga setempat untuk bisa ditonjolkan sebagai kekayaan potensi budaya lokal bagi provinsi NTB ke depannya.

Ia berharap kearifan lokal yang ada di Sesela jangan sampai punah. Tugas seluruh elemen masyarakat untuk melestariskan budaya tersebut, karena budaya klasik "Nguwur Siq Kesangkur` identik dengan petuah yang tidak boleh dilupakan oleh masyarakat, terutama generasi muda yang dalam bahsa kekinian disebut genarasi milenial.

Menurut dia, dalam petuah Sesela terdapat delapan hal yang harus dipedomani oleh para generasi muda, yakni, mereka harus bisa menjadi seperti langit, air, angin, tanah, matahari, bulan, api dan menjadi embun. Sebab, jika delapan hal itu bisa dilakukan, maka kehidupan kemasyarakatan, berbangsa, bernegara serta beragamaan akan bisa berjalan dengan baik.

Munajib menuturkan nenek moyang warga Sesela itu telah mengatur kehidupan genarasi mudanya agar cinta tanah air dan menjadi penyejuk bagi alam dan tanah airnya. Kalau delapan pituah bijak ini dipedomi, menurut Munajib, maka paham-paham yang tidak sesuai dengan budaya Sasak dan memecah belah bangsa jelas tidak akan memperoleh tempat.

Sementara itu, Ketua Panitia Parade Budaya Klasik "Nguwur Sik Tesangkur" Sabri menambahkan, perhelatan kegiatan budaya ini tidak lain adalah sebagai upaya generasi muda di Sesela untuk menghidupkan kembali budaya tanah leluhurnya agar tidak punah akibat pengaruh zaman.

Sejatinya generasi muda memiliki kewajiban moral untuk menghidupkan dan melestarika budaya yang lahir dari tradisi yang diwariskan secara turun-temurun seluruh budaya leluhur umumnya sangat baik karena berisi ajakan yang mulia.

Ia menyebutkan, kegiatan Parade Budaya Klasik 2019 bertajuk `Nguwur Siq Kesangkur` itu diawali dengan pawai obor keliling desa yang diikuti seluruh anak-anak muda di semua dusun di wilayah Desa Sesela sebagai pembukaan kegiatan itu.

Gelar budaya Klasik "Nguwur Siq Kesangkur" direncanakan berlangsung selama seminggu itu akan diisi dengan sejumlah kegiatan budaya asli masyarakat Desa Sesela.

Gelar Budaya Klasik mengusung tema "Nguwur Siq Kesangkur" yang dilaksanakan Pemuda Sesela itu merupakan salah impelentasi dari ikhtiar melestarikan kearifan lokal di "Gumi Sasak" Lombok.

Baca juga: Budaya "ngopi" ala Suku Sasak

Baca juga: Tradisi kawin lari di Sade Lombok

 

Pewarta: Masnun
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019