"Kami menghadang kapal trawl tersebut saat menangkap ikan di perairan Bengkulu, lalu langsung membawanya ke Pantai Malabero," kata sesepuh nelayan Malabero, Buyung Tamang, menggunakan istilah asing untuk pukat.
Ia menuturkan nelayan Malabero membawa sekitar 20 kapal yang masing-masing berpenumpang lima hingga 15 anak buah kapal berlayar menuju Pulau Baai untuk menghadang kapal pengguna pukat tersebut.
Setelah membawa kapal pengguna pukat ke perairan Malabero, para nelayan menurunkan anak buah kapal tersebut dan langsung membakar kapal beserta alat tangkapnya.
Aparat kepolisian yang turun ke lokasi pembakaran kapal langsung mengamankan lima anak buah kapal pengguna pukat tersebut.
Hingga saat ini, kapal trawl tersebut masih berada di tengah perairan. Aparat kepolisian belum mengamankan kapal berbahan bakar bensin itu karena khawatir akan meledak.
Penahanan dan pembakaran kapal pengguna pukat di tengah laut sebelumnya pernah terjadi sekitar tahun 1999. Para nelayan tradisional melakukan tindakan itu karena khawatir sumber daya laut terkuras habis dan rusak akibat penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan.
Menurut hasil kajian WWF-Indonesia, hanya sekitar 18-40 persen hasil tangkapan trawl dan cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi, 60-82 persennya merupakan tangkapan sampingan, sehingga sebagian besar hasil tangkapan tersebut dibuang ke laut dalam keadaan mati.
Hasil tangkapan trawl dan cantrang tidak selektif, mencakup ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya dengan semua ukuran, termasuk yang sedang memijah. Kondisi ini menyebabkan pengurangan stok sumber daya ikan. Selain itu penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan juga bisa menimbulkan kerusakan pada terumbu karang dan tempat perkembangbiakan ikan menurut WWF Indonesia.
Baca juga:
Tim gabungan sita mini trawl nelayan Aceh Barat
Nelayan diingatkan tinggalkan pukat harimau
Pewarta: Helti Marini S
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019