Kedai kopi "booming", petani tiarap

20 April 2019 16:29 WIB
Kedai kopi "booming", petani tiarap
Petani kopi Semende, memetik buah kopi semendo yang sudah matang di area perkebunan kopi milik warga Semendo Darat Ulu Muara Enim, Sumatera Selatan. (Antara News Sumsel/Feny Selly/13)
Minuman kopi sedang “booming” merasuk menjadi gaya hidup modern masa kini sehingga menjadi trend yang tidak tahu kapan akan berakhirnya.

Di kota-kota besar Tanah Air, bermunculan kedai-kedai kopi mulai dari kelas elite hingga kelas “warkop” yang menjadi tempat nongkrong kalangan pebisnis, anak milenial, keluarga, politisi dan lainnya.

Namun, apa yang terjadi di sisi hilir ternyata tidak berdampak langsung di sisi hulunya. Petani kopi di sejumlah daerah penghasil Sumatera Selatan tetap menjerit karena harga tetap tertahan seperti yang terjadi dalam satu dekade terakhir.

T Puji Santoso (44), petani kopi di Desa Sinar Napalan, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, yang masuk dalam Kelompok Tani Harapan, mengatakan mereka tetap saja menerima harga pembelian di kisaran Rp18.000-Rp19.000 per kilogram.

“Ya kami tahu, kopi ini sedang booming, tapi kami juga heran kenapa harga tidak naik-naik juga, tetap begitu-begitu saja dari tengkulak,” kata Puji.

Bukan hanya dari sisi harga, dari sisi permintaan juga sama atau nyaris tidak ada peningkatan. Persoalan ini sempat ditanyakan ke tengkulak asal Lampung yang biasa membeli produk pertanian kopi di kampungnya.

Namun, jawaban yang diterima Puji tidak bisa menjelaskan keadaan tersebut. “Mereka (tengkulak) mengatakan ya memang seperti itu, yang beli dari sana tetap beli segitu,” ujar Puji.

Penetapan harga dari tengkulak ini membuat Puji tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi hampir 90 hidupnya tergantung dengan tengkulak, yang menjadi sosok utama dalam rantai distribusi kopi di desanya.

Kebutuhan mulai dari pembelian pupuk, biaya panen (bayar tenaga kerja), hingga kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, telur, minyak kelapa itu semuanya diberikan tengkulak. Posisi tawar petani sangat rendah, bahkan harga-harga untuk kebutuhan pokok sehari-hari yang diberikan tengkulak itu jatuhnya jauh lebih tinggi jika dibandingkan harga sembako di pasar tradisional.

Kondisi ini semakin dipersulit dengan kenyataan yang ada di kebunnya, karena  produktifitas kebun kopi terus menurun dari sekitar 2 ton ton per tahun menjadi hanya sekitar 800-900 kilogram per tahun untuk setiap hektare. Ini terjadi pada dua hektare lahan kopi milik Puji sejak satu dekade terakhir.

Penurunan produksi ini diduga karena massif penggunaan pupuk kimia sehingga menyebabkan kerusakan tanah tak terbendung lagi. Selain itu, tanaman kopinya juga sudah berusia di atas 25 tahun, yang artinya membutuhkan peremajaan. Menurutnya, hal ini juga dialami sebagian besar petani kopi di desanya, yang berjarak sekitar 1,5 jam menuju Way Kanan, Lampung.
Ki-ka : Petani kopi asal OKUS Sumatera Selatan, T Puji Santoso, Ali Arifin, dan Hartama yang dijumpai pada saat sosialisasi perhutanan sosial di Palembang. (Antara News Sumsel/Feny Selly/13)



Baca juga: Coffee Wine, kopi fermentasi inovasi petani Garut
Baca juga: Toko online ini bantu petani kopi mendunia


Hartama (52), pekebun kopi lainnya di desa tersebut yang juga menjadi bendahara Kelompok Tani Napalan Makmur mengatakan, karena itu petani juga menanam yang lain seperti karet, sayuran, jengkol, sawit, lada, kakao, dan palawija untuk menyambung hidup. Hal ini terpaksa dilakukan karena harga kopi juga tak kunjung terkerek naik, yakni hanya Rp18.000-Rp19.000 per kilogram, bahkan pada tahun 2018 pernah berada di harga Rp17.000 per kilogram.

Ia yang mempunyai empat orang anak terpaksa banting tulang mengurus banyak kebun untuk memenuhi kehidupan keluarga, apalagi dua anaknya bersekolah di perguruan tinggi di Jawa, sementara dua lagi mengikuti jejaknya sebagai petani.

“Capek sekali jadi petani ini, yang mana dapatnya saja seperti menjaring ikan. Ada yang bisa dipanen harian, ya diambil, bulanan, tahunan, ya diambil juga untuk menyambung hidup,” kata dia.

Tapi tidak semua yang dilakukan petani ini sukses. Hartama terpaksa menghela napas panjang ketika tanaman cabainya terkena hama, padahal sudah mengeluarkan modal Rp10 juta meminjam dari tengkulak. Hingga kini ia belum bisa melunasi hutangnya tersebut.

Komoditas kopi merupakan salah satu komoditas unggulan yang sempat menyejahterakan masyarakat di kawasan perbukitan di Sumatera Selatan seperti di OKU Selatan, Pagaralam, dan Lahat karena harganya yang cukup tinggi ketika dijual ke pengepul. Kopi asal Sumsel yang dikenal dengan sebutan kopi Semende, kopi lahat, kopi Pagaralam sudah diekspor ke berbagai belahan dunia, konon sejak zaman penjajahan Belanda.

Saat era tahun 80-an hingga akhir 90-an menjadi hal yang biasa bagi warga desa-desa penghasil kopi untuk menyekolahkan anaknya ke Jawa, mengenyam pendidikan tinggi di perguruan-perguruan tinggi terkemuka. Bahkan biasa menyebut mereka dengan dengan sebutan tauke kopi.

Namun, seiring dengan perubahan ekonomi di dalam dan luar negeri (pasar global) membuat terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan mereka.

Ali Arifin (40), warga Desa Napalan, OKUS mengatakan dirinya hingga kini masih “gali lubang, tutup lubang”. Padahal, saat menjadi transmigran mengikuti kedua orangtuanya di akhir tahun 70-an mengalami kehidupan yang cukup layak. Ia memiliki beberapa orang saudara sekandung yang bersekolah di Yogyakarta.

“Terkadang saya bertekad dalam hati, jangan sampai anak-anak saya jadi petani juga seperti saya. Dari pagi sampai sore kerja terus, shubuh nyadap karet, pagi urus sayur, tanaman yang lain, capek sekali, tapi kenapa kami masih gali lubang tutup lubang,” kata dia.

Tren kedai kopi
Kondisi buruk di sisi hulu itu justru berbanding 360 derajat dengan sisi hilirnya. Jika petani kopi terpaksa membagi-bagi lahannya untuk menanam komoditas lain untuk bertahan hidup, maka berbeda dengan kedai kopi.

Ruang-ruang yang sebelumnya tak bermanfaat, kemudian disulap menjadi kedai-kedai kopi oleh para pebisnis muda. Hal ini diperkuat juga dengan data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bisnis penyediaan akomodasi dan makan-minum tumbuh pesat di Sumatera Selatan sepanjang tahun 2018 dengan mencetak pertumbuhan 13,15 persen.

Capaian pertumbuhan ini mengungguli pertumbuhan sektor-sektor yang selama ini menjadi utama di Sumsel yakni pertambangan, penggalian dan perkebunan yang justru tiarap sejak anjloknya harga komoditas ekspor batubara dan karet.

Secara kasat mata apa yang disebutkan data BPS itu sungguh terlihat jelas di Kota Palembang. Di sejumlah kawasan Kota Palembang kini bermunculan kafe dan kedai kopi yang dikelola oleh anak-anak muda berusia di bawah 35 tahun.

Dengan mengusung konsep kekinian, mereka percaya diri merambah bisnis kedai kopi yang sebenarnya sudah lebih dahulu merebak di kota-kota besar Indonesia. Seperti yang dilakukan Natan, pemilik kedai kopi “Senang Kopi” di kawasan Bukit Besar Palembang.

Ia rela bermigrasi dari Bogor ke kota empek-empek ini karena mengamati tren anak muda nongkrong sambil minum kopi baru mulai meranjak di sini.
Pemilik kedai kopi "Senang Kopi", Natan sedang meracik minuman. (Antara News Sumsel/Feny Selly/13)



Baca juga: Pertumbuhan industri kopi diharapkan dorong lahirnya lebih banyak petani kopi milenial
Baca juga: Pak Aleh, petani-pengusaha kopi di Gunung Tilu


"Beda dengan di Bogor yang sudah terlalu banyak. Di sini, masih ada potensi meski sudah banyak juga," kata Natan.

Dengan menjual minuman dengan harga berkisar Rp15.000 per gelas, Natan mengatakan pendapatannya terus meningkat jika dibandingkan sebulan lalu saat pertama kali dibuka. Ini berkat promosi dari mulut ke mulut hingga laman media sosial.

Seperti layaknya kedai kopi yang lagi tren, Natan juga menampilkan unsur kekinian di setiap komponennya. Meja dipilih yang berukuran kecil yakni hanya untuk mengakomodir dua hingga tiga orang saja. Kemudian, dinding ruangan didominasi warna abu-abu, hingga hadirnya vas bunga di setiap meja dan adanya buku-buku pajangan.

Bukan hanya di kedai Senang Kopi, model kekinian juga terlihat di kedai kopi DreamCoffee di kawasan Celentang Palembang.
Warna minimalis yang hanya memadukan tiga warna yakni putih, abu-abu dan hitam menjadi tema utama di kafe ini. Menu makanannya juga ala-ala kekinian, ada steak, spagetti, dan burger.

Salah seorang pengunjung kafe, Amelia, mengatakan dirinya sangat suka nongkrong bersama teman-temannya di kedai kopi ini. Bukan hanya dipengaruhi tren, tapi juga mendapatkan sejumlah kenyamanan ketika mengerjakan tugas kuliah di kafe tersebut.

"Wifi gratis, bisa duduk lama-lama. Sambil ngobrol, tugas selesai," kata Amelia, mahasiswa semester II Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya ini.

Ketidakadilan pembagian margin antara sisi hulu dan hilir di sektor perkebunan kopi ini sudah terjadi selama puluhan tahun.
Salah satu cara yang dinyakini dapat memecah persoalan ini, dengan membuka ruang seluas-luasnya akses langsung pembeli ke petani. Rantai perdagangan harus bersifat terbuka dan berkeadilan bagi semua pelaku.

Hanya saja, petani juga harus menyadari untuk menarik pembeli tangan pertama maka harus siap memperbaiki kualitas. Seperti diketahui teknik pengelolaan kopi, mulai dari penanaman, pemanenan, dan pengemasan masih dibawah standar. Bukan sesuatu yang aneh, jika melihat kopi dijemur di jalan beraspal di desa-desa penghasil kopi Sumsel.

Untuk itu, para pemangku kepentingan dibutuhkan aksi nyatanya untuk mendampingi para petani ini seperti yang dilakukan Lembaga Sosial Masyarakat Hutan Kita Institute (Haki).

Fasilitator petani perwakilan Haki Aidil Fiqri mengatakan produk perhutanan sosial berupa "Kopi Semende" dari petani Desa Cahaya Alam, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan, sudah diperkenalkan di Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa. Produk ini sudah berinovasi dalam kemasan sejak tahun lalu.

Haki sebagai pendamping petani, membeli kopi dari petani di Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabuapaten Muaraenim dengan harga Rp18.000-Rp23.000 per kg, kemudian menjual dengan harga Rp40.000/kg untuk jenis robusta, dan Rp70.000-Rp100.000 untuk jenis arabika.

Dalam pendampingan tersebut, petani diajak memperbaiki metode pengolahan lahan dan produk agar nilai jual lebih tinggi, seperti tidak menggunakan pupuk kimia. Penggunaan pupuk kimia membuat terjadinya penurunan produksi karena adanya kerusakan tanah dari awalnya satu hektare menghasilkan tiga ton kini hanya satu ton.

Selain itu, perbaikan metode petik buah, yang mana petani masih petik serentak tanpa ada pemilahan antara buah yang sudah masak atau mentah.

Senada, Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH) yang bergerak di bidang pengembangan rencana pertumbuhan ekonomi hijau telah melatih 26.000 petani kopi di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Sumatera Selatan untuk menghasilkan produk sesuai keinginan pasar.

Begitu pula yang dilakukan Hanns R. Neumann Stiftung (HRNS). Country Director HRNS Indonesia Dr Adrian Bolliger mengatakan lebih dari 150.000 kali pelatihan sudah dilakukan sejak 2013 di 137 desa produsen kopi Indonesia atau telah menjangkau 15.242 petani. Hasilnya produksi kopi terus naik 4.000 ton atau nilainya setara 7 juta dolar AS per tahun.

"Keterlibatan pihak swasta saat ini yang ditunggu untuk pengembangan sektor kopi. Ini untuk memastikan kopi yang dihasilkan oleh petani akan diserap oleh pasar seiring naiknya angka konsumsi kopi Indonesia dan dunia," kata dia.

Adanya gaya hidup baru minum kopi di masyarakat modern seharusnya menjadi momentum bangsa ini untuk menyejahterakan petani kopi yang sudah lama terhimpit kehidupannya lantaran ketidakadilan pembagian margin dalam rantai perdagangan. Berkembangnya sisi hilir seharusnya diimbangi juga dengan berkembangnya sisi hulu.

Baca juga: Bisnis kedai kopi yang menjanjikan
Baca juga: Tantangan berbisnis kedai kopi di Indonesia



 

Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019