Perpres tersebut mewajibkan seluruh pihak baik instansi pemerintah, korporasi, yang terdiri atas pendiri atau pengurus, ataupun melalui notaris untuk melaporkan informasi pemilik manfaat.
"Agar tidak disalahartikan bahwa peraturan presiden ini bukan untuk menghukum dunia usaha di Indonesia, tetapi kita ingin melindungi dunia usaha," ujar Syarif di Jakarta, Rabu (3/7).
Baca juga: Sri Mulyani jalin komunikasi dengan ICW terkait laporan transparansi
Syarif menilai sistem transparansi keuangan dan transparansi kepemilikan perusahaan perlu ditingkatkan agar menjadi soko guru pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
"Kalau misalnya lebih transparan, lebih baik, saya pikir mungkin akan menimbulkan dunia usaha yang lebih baik dan bahkan mungkin pemerintah bisa memberikan insentif atau penghargaan khusus kepada dunia usaha yang memenuhi segala aturan yang dikeluarkan negara," ujar dia.
Sebelumnya, Menteri hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menyebut pengungkapan pemilik manfaat menjadi penutup potensi tindak kejahatan yang dilakukan korporasi.
Baca juga: Enam kementerian teken MoU pemanfaatan basis data pemilik manfaat
Penandatanganan nota kesepakatan penguatan dan pemanfaatan basis data kepemilikan manfaat (benefit ownership) bersama lima kementerian merupakan salah satu langkah penegakan hukum khususnya tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana pendanaan terorisme.
Hal itu selaras dengan salah satu rencana aksi strategi nasional pencegahan korupsi, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
Baca juga: Pemerintah tingkatkan transparansi pengelolaan keuangan negara
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019