• Beranda
  • Berita
  • Deregulasi diharapkan dorong pengembangan industri farmasi

Deregulasi diharapkan dorong pengembangan industri farmasi

5 Juli 2019 18:47 WIB
Deregulasi diharapkan dorong pengembangan industri farmasi
Direktur Perencanaan Jasa dan Kawasan BKPM Nurul Ichwan saat menyampaikan sambutan pada pembukaan diskusi. (Dokumentasi BKPM)

Ekspor industri farmasi menjadi fokus yang perlu ditingkatkan mengingat defisit neraca perdagangan di bidang farmasi melebar di 2018 dibandingkan empat tahun sebelumnya.

Deregulasi diharapkan bisa mendorong pengembangan industri farmasi di tengah upaya yang dilakukan pemerintah termasuk langkah perbaikan kebijakan baik regulasi, perizinan, dan insentif untuk meningkatkan investasi baik domestik maupun asing di bidang farmasi.

Gagasan tersebut terungkap dalam diskusi yang digelar Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bekerja sama dengan Institute for Development of Economics & Finance (Indef) dan SwissCham Indonesia beberapa waktu lalu.

Direktur Riset Indef Berly Martawardaya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, menyebutkan sejak keluar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010 Tahun 2008, selama 2009-2012, jumlah investasi asing tahunan masih berada di bawah tahun 2008.

Permenkes No. 1010/MENKES/PER/XI/2008 mengenai Registrasi Obat dalam upaya melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak memenuhi persyaratan, keamanan, mutu, dan aspek kebermanfaatan itu merupakan respon terhadap distributor yang tidak bertanggung jawab, yakni yang tidak memiliki sistem pengelolaan rantai pasok (supply chain) yang berkualitas.

Namun, setelah sepuluh tahun umur kebijakan tersebut, Indonesia masih mengandalkan impor bahan baku obat hingga 90 persen yang menjadikan produksi obat generik berbiaya tinggi dan tidak kompetitif.

"Setelah Permenkes No. 1010/2018 sepenuhnya berlaku pada 2013, justru terjadi penurunan tren pertumbuhan di sektor farmasi sehingga menyentuh 1,4 persen di 2018," ujarnya.

Meski perlu kajian yang lebih mendalam, tetapi ia menilai hal itu bukan indikasi kuat dari efektifnya regulasi tersebut.
Baca juga: Kemenperin upayakan perkecil defisit industri farmasi

Direktur Bidang Perencanaan Jasa dan Kawasan BKPM Nurul Ichwan menyebutkan performa perdagangan dan investasi saat ini menjadi perhatian Presiden karena kinerjanya masih kurang optimal termasuk di dalamnya adalah industri farmasi.

"Ekspor industri farmasi menjadi fokus yang perlu ditingkatkan mengingat defisit neraca perdagangan di bidang farmasi melebar di 2018 dibandingkan empat tahun sebelumnya," katanya.

Kepala BPOM periode 2012-2013 Lucky S. Slamet menyebutkan perlu meninjau kembali Permenkes No. 949/2000 menjadi Permenkes No. 1010/2008. Hal itu diperlukan karena beberapa hal yaitu secara filosofi, akses terhadap obat adalah hak manusia, lalu dari aspek sosiologi yaitu untuk mencegah akses obat bermasalah, dan yuridis yaitu sesuai dengan standar internasional.

"Investasi farmasi harus melibatkan semua pihak tidak hanya pelaku asing saja dan regulasi yang mendukungnya perlu dilakukan regulatory impact assessment secara berkala," katanya.

Presiden Direktur Novartis Indonesia dan Ketua International Pharmaceutical Manufacturing Group (IPMG) Jorge Federico Wagner menyatakan apabila tujuan utama Permenkes No. 1010/2008 untuk mengurangi biaya obat-obatan dengan cara diproduksi lokal, maka IPMG merasa tujuan tersebut tidak tercapai.

"Justru yang terjadi ialah makin terbatasnya akses obat-obatan inovatif yang sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan pasien Indonesia," imbuhnya.
Baca juga: Industri farmasi Indonesia tembus pasar Polandia ekspor obat diabetes

Menurut Jorge, dibutuhkan solusi yang komprehensif untuk ketersediaan obat-obat berkualitas di Indonesia, terlepas dari lokasi produksinya. Konsultasi dengan industri terus perlu dilakukan untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungkan pasien maupun pemerintah.

Senada dengan pandangan tersebut, Michael Goutama dari Kadin Indonesia untuk Singapura melihat bahwa industri farmasi di Malaysia kurang berkembang dan ini menjadi celah bagi Indonesia untuk memanfaatkan kekurangan tersebut.

"Bukan hanya harga dari produk farmasi yang harus murah tetapi juga kepercayaan terhadap kualitas obat yang diproduksi," katanya.
Baca juga: Industri farmasi Indonesia diharapkan tidak tergantung bahan impor

Sementara itu, Anggota DPR Komisi IX, menyebutkan bahwa kerap terjadi tumpang tindih peraturan yang mengurangi daya tarik investasi di berbagai sektor termasuk farmasi.

Menurutnya, dari segi aspek legislasi Permenkes No. 1010/2008 sebelumnya tidak dilaporkan kepada pihak DPR sebelum menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. "Setelah 10 tahun implementasinya, Permenkes No. 1010/2008 perlu dievaluasi," ujarnya.

Ada pun Direktur Pengembangan Potensi Daerah BKPM Iwan Suryana menyebutkan bahwa tujuan Permenkes No. 1010/2008 sebenarnya baik, yaitu untuk mendorong serta memperbaiki sekaligus memperkuat industri farmasi dalam negeri.

Namun perlu juga diperhatikan kembali kondisi iklim investasi dengan memberikan berbagai kemudahan dan berbagai insentif untuk para pelaku usaha yang akan berinvestasi di Indonesia.

"Kalau investasi di dalam negeri sulit, tentunya investor mencari tempat lain yang lebih memberikan keunggulan untuk berinvestasi," tuturnya.

Baca juga: Menteri Basuki: Deregulasi solusi tingkatkan investasi dan ekspor
Baca juga: Kadin: efektivitas implementasi kebijakan dorong arus investasi


 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019