Kekeringan bukan lagi bencana bagi NTT

23 Juli 2019 16:36 WIB
Kekeringan bukan lagi bencana bagi NTT
Ilustrasi - Kekeringan (ANTARA Foto/dok)
Bagi Nusa Tenggara Timur, masalah kekeringan adalah hal yang biasa dan lumrah, dan bukanlah sebuah bencana alam, sebab hampir tiap tahun wilayah provinsi berbasis kepulauan ini memang harus melewati musim kemarau yang panjang.

Dalam setahun, hanya tiga sampai empat bulan daerah ini menikmati musim hujan, sedang sisanya merupakan musim kemarau. Ketika musim kemarau tiba, kekeringan dan juga minimnya air bersih adalah masalah yang kerap dialami oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur, dan juga orang Indonesia lainnya.

Tentu, menjadi hal yang mengherankan kenapa Indonesia yang merupakan negara tropis dan kaya akan sumber daya alamnya, justru sering dilanda kekeringan. Apakah penyebabnya? Indonesia merupakan negara yang berada tepat di garis khatulistiwa dan diapit oleh dua benua dan dua samudera.

Selain itu, Indonesia secara geografis terdapat di daerah monsoon atau sebuah fenomena alam di mana seringnya terjadi perubahan iklim secara ekstrem karena terjadinya perubahan tekanan udara dari daratan. Dengan terjadinya perubahan tersebut, maka secara tidak langsung menyebabkan jet steam effect (naiknya titik didih) dari lautan yang langsung menghempas daratan dengan hawa panas yang mengikutinya.

Dengan hawa panas dan kekuatan angin yang tinggi tersebut, maka membuat banyak daerah yang awalnya memiliki kandungan air, menjadi terkena imbasnya atau menjadi kering. efeknya semakin parah ketika musim kemarau tiba dimana secara alami musimnya sudah kering dan panas, masih mendapatkan tambahan tekanan dikarenakan fenomena monsoon tersebut.

Di sisi lain, penggunaan air tanah secara berlebihan (permasalahan agronomis) tersebut memiliki imbas terhadap lingkungan, yaitu membuat kekeringan di sejumlah tempat, terlebih saat kemarau tiba. Permasalahan agronomis ini disebabkan oleh penggunaan air tanah secara berlebih, sehingga membuat cadangan air ikut terangkut dan membuat pasokannya menjadi menipis dan habis.

Memang, kerusakan hidrologis ini sepenuhnya disebabkan oleh manusia, karena alam sendiri yang dapat menjadi pemicunya. Kerusakan hidrologis tersebut merupakan rusaknya fungsi dari wilayah hulu sungai karena waduk dan saluran irigasinya terisi sendimen dalam jumlah besar.

Kekeringan yang terjadi di Indonesia dan Nusa Tenggara Timur pada khususnya juga dapat disebabkan oleh penyimpangan iklim yang mana membuat hujan menjadi jarang turun. Hal tersebut dikarenakan rendahnya tingkat produksi uap air dan awan di beberapa tempat di Indonesia yang akhirnya membuat minimnya hujan.

Memang, masalah kekeringan tidak hanya terjadi di Indonesia dan NTT saja, tetapi hampir di seluruh belahan dunia. Global warming atau pemanasan secara global ini juga menjadi salah satu penyebab kekeringan terjadi baik di Indonesia ataupun di berbagai negara lain di dunia. Penyebabnya juga cukup beragam, mulai dari efek penggunaan rumah kaca, pemakaian zat kimia, polusi udara sampai dengan pembuangan sampah secara sembarangan.

Secara astronomis, Indonesia dilalui oleh garis lintang nol derajat atau garis khatulistiwa. Sesuai dengan pembagian iklim di dunia, daerah yang dilalui oleh garis khatulistiwa memiliki iklim tropis atau iklim panas. Artinya, daerah tersebut akan mendapatkan penyinaran matahari lebih banyak daripada daerah yang tidak dilalui oleh garis khatulistiwa.

Makanya di Indonesia hanya terdapat dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Dua musim di Indonesia ini, menurut para ahli astronomi, mempunyai rasio yang sama, yakni datang tiap enam bulan sekali.

Oleh karena hanya dua musim yang dimiliki Indonesia. Ada masanya Indonesia mempunyai air yang berlebih, yakni ketika musim hujan. Dan juga ada masanya Indonesia mempunyai persediaan air yang hanya sedikit, yakni ketika musim kemarau tiba.


Darurat kekeringan

Bagaimana pun juga, masalah kekeringan merupakan salah satu peristiwa yang kerap kali terjadi dan dirasakan oleh masyarakat Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan laporan BMKG Stasiun Klimatologi Kupang, tercatat sedikitnya lima dari 22 kabupaten/kota di NTT yang saat ini masuk dalam kategori darurat kekeringan, yakni Kota Kupang, Kabupaten Sumba Timur, Timor Tengah Selatan (TTS), Manggarai, Rote Ndao dan Kabupaten Flores Timur.

"Kalau berdasarkan monitoring hari tanpa hujan berturut-turut (HTH) dasarian I Juli 2019 Provinsi Nusa Tenggara Timur, ada sembilan kabupaten/kota yang mengalami kekeringan ekstrem. Dari sembilan kabupaten ini, lima kabupaten yang sudah menetapkan siaga darurat kekeringan," kata Kepala BMKG Stasiun Klimatologi Kupang Apolonaris Geru.

Sementara, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, sejumlah wilayah kabupaten dan kota di Indonesia, telah menetapkan status siaga darurat kekeringan. Hingga, Selasa (23/7), menurut BNPB, sebanyak 55 kepala daerah di Indonesia telah menerbitkan surat keputusan bupati dan wali kota tentang siaga darurat bencana kekeringan.

Provinsi yang wilayah kabupaten dan kotanya menetapkan status siaga darurat kekeringan antara lain Banten, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sedang, wilayah kabupaten/kota yang terdampak kekeringan teridentifikasi berjumlah 75 kabupaten/kota, termasuk dua kabupaten di Bali dan lima kabupaten/kota di NTT.

Menurut catatan BMKG Kupang, hampir semua wilayah di Provinsi NTT mengalami hari tanpa hujan (HTH) dengan kategori panjang. "Berdasarkan monitoring HTH dasarian II Juli 2019 menunjukkan, Provinsi NTT pada umumnya mengalami HTH dengan kategori sangat panjang (31-61 hari) hingga kategori kekeringan ekstrem (>60 hari)," kata Apolonaris.

Menurut dia, beberapa wilayah yang sudah mengalami HTH dengan kategori kekeringan ekstrem adalah Kabupaten Ende di wilayah sekitar Nanganio, Kabupaten Sikka di sekitar Magepanda dan Waigete, Kabupaten Flores Timur di sekitar Larantuka, Konga, dan Kabupaten Lembata di sekitar Lewoleba, Wairiang, Waipukang dan Wulandoni.

Kondisi yang sama juga di Kabupaten Sumba Barat di sekitar Waikabubak, Kabupaten Sumba Timur di sekitar Stamet Waingapu, Wanga, Melolo, Temu/Kanatang, Lambanapu, Rambangaru, dan Kamanggih; Kabupaten Sabu Raijua di sekitar Daieko; Kabupaten Rote Ndao di sekitar Pepela dan Busalangga.

Begitu juga di Kota Kupang di sekitar Stamet El Tari, Sikumana, Bakunase, Oepoi dan Mapoli; Kabupaten Kupang di sektar Oekabiti, Lelogama, Oenesu, Oelnasi dan Sulamu; Kabupaten Belu di sekitar wilayah Atambua, Fatubenao, Fatukmetan, Wedomu, Haekesak serta Umarese, dan Fatulotu.

Sementara, enam kecamatan yang menyebar di Pulau Sabu dan Raijua di Kabupaten Sabu Raijua, yakni Sabu Barat, Sabu Tengah, Sabu Timur, Sabu Liea, Hawu Mehara dan Raijua, saat ini dilanda kekeringan akibat kemarau panjang tahun ini. "Kami sudah melakukan penanganan lapangan dengan mengirim tanki air bersih ke wilayah-wilayah yang dilanda kekeringan," kata Kepala Pelaksana BPBD Sabu Raijua Ndu Ufi.

Namun, kendala yang mereka hadapi di lapangan adalah masyarakat tidak menyediakan tempat air seperti tandon ataupun bak penampungan, sehingga pendistribusian air langsung pada wadah-wadah yang disiapkan pemerintah. "Untuk langkah penanganannya sudah siap untuk pelayanan air bersih, tetapi kendalanya hanya pada tempat penampungan seperti tandon air," katanya.

Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langodai juga mengemukaman bahwa dampak bencana kekeringan yang melanda kabupaten yang berada di bagian timur Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, itu sudah semakin meluas hingga ke beberapa wilayah kecamatan.

"Sekarang bukan saja di wilayah Wairiang yang terdampak kekeringan ekstrim tapi juga meluas ke Kecamatan Ile Ape, dan sebagian Kecamatan Nuba Tukan," katanya ketika diminta tanggapan terhadap ramalan BMKG Stasiun Klimatologi Kupang yang mencatat wilayah Wairiang di Kabupaten Lembata merupakan salah satu yang mengalami hari tanpa hujan terpanjang yaitu 105 hari.

Thomas Ola yang juga mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Widya Mandira Kupang itu mengakui bahwa kekeringan ekstrim tidak hanya melanda Wairiang, tetapi sudah meluas ke wilayah kecamatan lain di sekitarnya yang mulai mengalami krisis sumber air bersih maupun membuat masyarakat kesulitan menggarap lahan pertanian.

Solusi yang ditawarkan adalah pembangunan bendungan, yang dinilai menjadi salah satu cara untuk menampung air hujan (terbendung) agar suatu saat dapat digunakan ketika masyarakat kekurangan air, seperti yang sudah dibangun pemerintahan Presiden Joko Widodo di Raknamo, Kabupaten Kupang, Rotiklot di Kabupaten Belu, Temef di Kabupaten Timor Tengah Selatan serta Napunggete di Kabupaten Sikka.

Namun, ada lagi solusi yang ditekankan, yakni menghemat dalam penggunaan air. Sebab air merupakan sumber daya alam yang tidak boleh berlebihan dalam penggunaannya. Mungkin itulah yang bisa dilakukan untuk menanggulangi bahaya kekeringan yang bisa mengancam kehidupan manusia, meski kekeringan bukan lagi bencana bagi NTT.*

Baca juga: Wabup: dampak kekeringan di Lembata semakin meluas

Baca juga: NTT alami hari tanpa hujan yang sangat panjang

Baca juga: Lima kabupaten/kota di NTT darurat kekeringan

Pewarta: Laurensius Molan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019