Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Indonesia One Health University Network (INDOHUN) bersama dengan University of Minnesota dan Ecohealth Alliance mengungkapkan bahwa perubahan penggunaan lahan hutan berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus malaria serta dapat menimbulkan dampak kerugian ekonomi.
Berdasarkan siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa, Penasihat Penyakit Menular Senior USAID Indonesia Tim Meinke mengatakan pemahaman berbagai pihak tentang peran pemanfaatan lahan secara tepat dalam dan apa yang harus dilakukan dianggap masih terbatas.
Penelitian berjudul Disease Emergence and Economic Evaluation of Altered Landscapes atau disebut dengan DEAL yang didanai oleh investasi USAID terhadap kehutanan dan keanekaragaman hayati dilakukan di tiga provinsi di Indonesia yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Timur, dan Papua Barat. Penelitian bertujuan untuk menganalisis bagaimana perubahan lahan terutama hutan berkontribusi terhadap malaria serta dampak ekonomi yang ditimbulkan.
Baca juga: Virus malaria dari Afrika ditemukan Dinkes Kota Kupang
"Kami percaya bahwa DEAL akan memberikan gagasan awal tentang keterkaitan antara pemanfaatan lahan, kesehatan, dan ekonomi, dan pada saat yang sama membantu memberikan masukan untuk dialog, penelitian, dan kebijakan di masa yang akan datang terkait berbagai permasalahan ini," kata Meinke.
Guru Besar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Wiku Adisasmito, DVM, M.Sc, PhD, yang juga selaku penyelidik utama rproyek penelitian DEAL mengatakan saat ini penelitian yang menganalisis dampak dari perubahan penggunaan lahan terhadap kesehatan dan beban ekonomi dari dampak kesehatan tersebut masih sangat terbatas di Indonesia.
"Penelitian DEAL ini merupakan penelitian kolaborasi internasional pertama yang menganalisis kontribusi dari perubahan penggunaan lahan terutama hutan terhadap malaria dan evaluasi ekonominya yang dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya," kata Wiku.
Baca juga: Ridwan Kamil targetkan Jabar bebas malaria pada 2022
Menurut hasil penelitian, angka malaria positif di Riau pada level kabupaten-kota akan meningkat 5 kasus per 100,000 orang per tahun ketika terjadi peningkatan satu fragmentasi hutan sekunder dengan luas lebih dari 5 km persegi.
Sedangkan di Kalimantan Timur pada level kabupaten-kota, angka malaria positif akan meningkat 787 kasus per 100,000 orang per tahun jika terjadi deforestasi tutupan hutan primer sebesar 1 persen.
Hasil penelitian di Papua Barat pada level kabupaten-kota menunjukkan bahwa angka malaria positif akan meningkat 9,982 kasus per 100,000 orang per tahun ketika terjadi deforestasi 1 persen tutupan hutan sekunder. Namun secara umum, penelitian ini tidak menemukan asosiasi yang kuat.
Untuk melihat dampak dari perubahan penggunaan lahan terhadap malaria, terdapat banyak faktor risiko dan hubungan yang sangat kompleks. Penelitian ini hanya menganalisis deforestasi tutupan hutan dan fragmentasi hutan dengan rate malaria positif menggunakan data agregat.
Baca juga: Indonesia-Inggris kerja sama danai riset HIV hingga malaria
Oleh sebab itu, perlu diadakan penelitian lanjutan menggunakan data yang lebih lengkap untuk melihat hubungan yang lebih jelas.
Penelitian DEAL juga telah mengembangkan sebuah model ekonomi yang dapat dipergunakan untuk menghitung nilai konversi optimal penggunaan lahan dengan asumsi dasar menggunakan pendekatan produksi minyak kelapa sawit.
Model ini dapat dipergunakan dan dikembangkan menggunakan variabel-variabel lain sesuai dengan kondisi daerah atau provinsi. Dengan demikian, perubahan penggunaan lahan tidak hanya berfokus pada keuntungan perkebunan, namun juga mempertimbangkan biaya sosial yang muncul akibat penyakit dan menurunnya nilai ekosistem.
Jika melihat hubungan perubahan lahan dengan penyakit zoonosis, maka diperlukan adanya sistem informasi terintegrasi yang mampu untuk menyediakan data lintas sektor antara lingkungan hidup, kehutanan, kesehatan, dan ekonomi di level kabupaten, provinsi, dan nasional.
Baca juga: ACT-MRI NTB distribusikan kelambu ke daerah endemik malaria
Selain sistem informasi, juga perlu diperkuatnya koordinasi dan kerja sama lintas kementerian khususnya antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan dampak perubahan lahan terhadap penyakit dan hilangnya nilai ekosistem serta kerugian ekonomi yang timbul dalam pembuatan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPL) dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) rencana tata ruang wilayah (RTRW) di Indonesia.
“Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah agar dapat turut memperhatikan dampak kesehatan dalam mengontrol perubahan penggunaan lahan yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat di Indonesia. Penelitian ini penting untuk terus dikembangkan guna mencegah dan mengendalikan penyakit yang berhubungan dengan perubahan penggunaan lahan,” tutur Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019