“Sebagian besar pelaku adalah orang yang dikenal oleh korban, bahkan 32 persen (dari 80,23 persen) pelaku adalah keluarga inti dari korban, baik bapaknya, bapak tiri, kakek, kakak, atau adiknya. Ini menjadi keprihatinan kami,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu pada konferensi pers di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Hari Anak Nasional, kekerasan seksual anak naik 100 persen tiap tahun
Baca juga: LPSK sayangkan grasi kasus kekerasan seksual siswa JIS
Edwin mengatakan, ada beragam motif peristiwa kekerasan seksual terhadap anak, seperti tingkat ekonomi rendah, penyimpangan seksual, serta tontonan video porno.
“Orang dengan ekonomi rendah kebanyakan kalau di rumah yang sederhana mereka tidak ada ruang privat, satu keluarga bercampur satu ruangan, jadi apa saja yang terjadi di ruangan itu semuanya sama-sama melihat,” ujar Edwin.
Selain itu, Edwin mengatakan laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang masuk ke LPSK meningkat 100 persen setiap tahunnya sejak 2016.
“Tahun 2019 ini juga angkanya lebih besar dari 2018,” tambah dia.
Mengatasi hal ini, Edwin mengatakan LPSK akan bekerja sama dengan sejumlah pemerintah daerah untuk melakukan edukasi pengenalan bagian tubuh kepada anak usia dini tingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD).
“Penting untuk dikedepankan anak-anak harus diperkenalkan bagian tubuh mana saja yang tidak boleh dilihat dan disentuh orang lain, karena memang anak-anak ini rentan karena tidak punya pengetahuan dan kendali terhadap dirinya sendiri,” ucap Edwin.
Edwin menyarankan para orang tua juga harus berperan, salah satunya dengan mengendalikan anak dalam penggunaan internet melalui “smartphone”
Selain itu, Edwin mengatakan LPSK juga menyarankan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk lebih gencar melakukan pemblokiran situs-situs porno di Indonesia.
Baca juga: LPSK sayangkan Jokowi beri grasi terpidana kekerasan seksual anak
Pewarta: Pamela Sakina
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019