Warga Jakarta sampai hafal jalan-jalan mana yang padat merayap di jam-jam tertentu. Tak cuma di pusat kota Jakarta, seluruh penjuru kota administrasi pun bernasib sama.
Pun demikian dengan polusi, konsekuensi logis dari ulah manusia. Mereka mencemari lingkungan sendiri dengan asap kendaraan bermotor, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), dan polusi industri.
Masing-masing acapkali disalahkan sebagai penyebab paling dominan. Kendaraan bermotor dituding jadi biang penyumbang polusi terbesar. Namun, saat warga mudik, ternyata udara Jakarta tak begitu membaik.
Gubernur Jakarta Anies Baswedan menyebut jumlah kendaraan bermotor yang mencapai 17 juta unit menyumbang buruknya kualitas udara di Ibu Kota yang dihasilkan akibat residu polutan.
Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) pun merinci sumber pencemaran di Jakarta bukan cuma kendaraan bermotor yang menyumbang sekitar 44 persen.
Namun, masih ada PLTU (14 persen), pembakaran di proses industri (19 persen), pembakaran biomassa dan sampah (13 persen), debu jalanan (5 persen), proses konstruksi (2 persen), dan rumah tangga (3 persen).
Berbicara tingkat keparahan kondisi udara di Jakarta, dari kalangan aktivis lingkungan maupun pemerintah ternyata punya argumentasi tersendiri.
Dari Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu selaku Juru Kampanye memaparkan bahwa sebenarnya data yang dimiliki pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengenai kualitas udara hampir selaras dengan data Greenpeace.
Data rata-rata tahunan PM 2.5 di Jakarta menunjukan angka 34.57 mikrogram per meter kubik (μg/m3) yang artinya, sudah melebihi dua kali lipat baku mutu udara ambien nasional sebesar 15 ug/m3.
Gugatan warga
Sejumlah warga yang tergabung dalam Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) pun melayangkan gugatan warga negara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (4/7) lalu, guna menuntut hak untuk menikmati udara bersih.
Gugatan dilayangkan kepada tujuh pihak, yakni Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten.
Baca juga: KLHK: kebijakan kendaraan bermotor kontribusi perbaiki kualitas udara
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun angkat bicara. Mereka mengklaim kualitas udara di Jakarta masih relatif bagus dari pemantauan yang dilakukan sejak 1 Januari hingga 30 Juni 2019.
"Data Air Quality Management System (AQMS) di Gelora Bung Karno (GBK) menunjukkan rata-rata harian PM 2.5 sebesar 31,49 μg/m3," kata Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliansyah.
Jika dibandingkan dengan baku mutu udara ambien nasional, yakni 65 μg/m3, kualitas udara di Jakarta masih bagus dan sehat.
Apabila dibandingkan dengan standar WHO pada angka 25 μg/m3, kualitas udara di Jakarta juga terbilang dalam kategori sedang.
Merunut data 2015-2016 yang ketika itu masih menggunakan pengukuran manual melalui evaluasi kualitas udara perkotaan (EKUP) pun, KLHK mengevaluasi secara keseluruhan udara Jakarta masih bagus karena masih di bawah ambang batas baku mutu udara ambien.
"Jika dilihat per parameter atau per wilayah administrasi maka udara di Kota Jakarta tidak dapat dikatakan makin membaik atau menurun, melainkan relatif konstan," tandas Karliyansah.
Dihitung menggunakan data air visual pada 2017 yang dikelola lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Beijing, China, kualitas udara Jakarta berdasarkan rata-rata PM2.5 berada pada urutan ke-160, yakni 29,7 μg/m3 atau kategori sedang.
Meski demikian, Karliyansah mengakui, ada tiga titik selama rentang 19-27 Juni 2019 yang menunjukkan kualitas udara kurang bagus, tetapi datanya harus dilihat menyeluruh, alias dihitung secara rata-rata.
Akses data kualitas udara
Keterbukaan data soal kualitas udara pun dinilai penting oleh banyak kalangan, termasuk Greenpeace agar mudah diakses secara terbuka oleh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.
"Kita harus punya keterbukaan data soal udara. Sampai saat ini, data soal udara enggak mudah (didapat) semudah mengakses data cuaca," ujar Bondan lagi.
Di sisi lain, keterbukaan dan kemudahan akses data soal kualitas udara itu juga sangat penting dan memudahkan pemerintah dalam pengambilan kebijakan.
Baca juga: Membedah strategi perbaikan kualitas udara di Jakarta
Baca juga: KPBB sarankan lima aspek perbaiki kualitas udara Jakarta
Selain itu, koordinasi lintas kementerian juga dinilai belum berjalan baik, misalnya antara Kementerian Kesehatan dan KLHK ketika Greenpeace mendorong Kemenkes melakukan aksi nyata dan edukasi publik perihal dampak polusi udara, 2018 silam.
Ketika itu, Kemenkes malah menjawab kewenangan mereka adalah pada "indoor air pollution" (polusi udara dalam ruangan), sementara polusi udara luar ruang kewenangan KLHK.
"Kami jadi agak bingung. Harusnya ada koordinasi antara mereka. Bicara udara di luar, pasti masuk ke dalam (ruang). Enggak mungkin kita di dalam ruangan terus, pasti keluar, dan sebaliknya," ujar Bondan.
Masih menyoal polusi, mari semua pihak berbenah diri. Perbanyak hutan kota, taman, atau apalah namanya agar bisa sedikit mengobati. Ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) menjadi harga mati yang harus dipenuhi.
Kebalikan dengan industri yang kian pesat, luasan RTH justru semakin menyempit. Pada tahun 1965 luasan RTH di Jakarta semula mencapai 37,2 persen, lalu menyusut menjadi 25,85 persen pada 1985.
Jumlahnya semakin berkurang drastis, tinggal sembilan persen pada tahun 2000, sementara tahun ini tercatat 9,98 persen. Naik, meski tak sampai satu persen dalam kurun 20 tahun.
Pemulihan RTH
Di tengah semakin padatnya permukiman, perjuangan untuk mengembalikan hijaunya Jakarta bukan persoalan mudah pastinya. Namun, apakah harus berhenti begitu saja?
Pakar tata kota Nirwono Joga membeberkan banyak potensi RTH di Jakarta yang selama ini belum digarap maksimal oleh pemerintah. Di luar taman dan hutan kota yang sudah ada.
Pertama, koridor tepi bantaran kali yang bisa disulap jadi RTH. Tercatat, Jakarta punya setidaknya 13 koridor yang menyimpan mimpi untuk menjadikan Jakarta kembali asri.
Hitung aja, tepi Kali Mookervaart, Angke, Pesanggrahan, Krukut, Ciliwung, Sunter, Grogol, Baru Barat, Baru Timur, Cipinang, Buaran, Jati Kramat, sampai Kali Cakung.
"Koridor tepi bantaran kali ini punya keuntungan karena dekat sumber air, mudah ditata, dan mudah perawatannya," ujar pengajar Universitas Trisakti Jakarta itu.
Ada lagi, tepi bantaran rel kereta api (KA) yang menyimpan potensi RTH, tetapi belum banyak diolah. Jarak aman kiri-kanan sepanjang jalur rel membuat luasannya cukup melimpah.
Baca juga: Pakar: Optimalkan RTH di 13 tepi bantaran kali Jakarta
Baca juga: Populasi burung betet biasa terdata di enam RTH Jakarta
Ruang di bawah kolong jembatan layang pun bisa dikelola untuk paru-paru kota. Surga bagi satwa di habitatnya, dan manusia juga pasti menikmati manfaatnya.
Jangan lupa, Jakarta juga kaya akan situ, danau, embung, dan waduk (SDEW) yang bisa dimanfaatkan sebagai RTH. Jumlahnya pun tak sedikit, setidaknya ada 109 SDEW yang tersebar di berbagai titik.
Jika keberadaan SDEW dimaksimalkan sebagai RTH, seperti dibangun taman atau hutan mini maka akan menjadi tempat favorit bagi satwa liar untuk membangun habitatnya.
"Satu lagi, di kawasan pantai utara Jakarta. Kan masih belum dioptimalkan. Tanami dengan banyak pohon dalam radius 200-500 meter dari bibir pantai," tambah Nirwono.
Tak cukup itu, penanaman pohon di pesisir pantai itu ternyata sudah digalakkan di Jepang sebagai langkah antisipasi terhadap ancaman tsunami dan abrasi. Kapan lagi kita mau memulai?
Baca juga: Atasi polusi, harusnya Jakarta bercermin ke kota besar dunia
Baca juga: Jakarta harus tiru manajemen pengendalian polusi udara Beijing
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2019