"Undang-undang yang digunakan dalam Pilkada 2020 masih menggunakan UU No. 10/2016, di dalamnya memperbolehkan (napi koruptor maju dalam pilkada)," kata Amali di kompleks MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis.
Baca juga: Fahri: Larangan mantan napi koruptor ikut pilkada bukan domain KPU
Menurut dia, kalau larangan tersebut tetap dipaksakan dibuat, padahal bertentangan dengan UU, akan sama dengan aturan mantan narapidana korupsi maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) yang dibatalkan Mahkamah Agung (MA) karena bertentangan dengan UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
Apabila larangan itu mau diatur dalam UU, menurut dia, harus mengubah UU Pilkada. Namun, waktu untuk merevisinya terlalu mepet.
"Jadi, menurut saya, kita agak dilema mau mengubah UU namun waktunya sudah mepet," ujarnya.
Dia pun mengaku khawatir perubahan satu pasal di UU Pilkada akan merembet pada pasal lain apabila dilakukan revisi.
Oleh karena itu, dia menyarankan agar KPU mengumumkan nama-nama mantan narapidana kasus korupsi yang mencalonkan diri di Pilkada 2020.
Baca juga: KPU ingin ada aturan tegas larang mantan koruptor ikut pilkada
Usulan larangan mantan napi kasus korupsi maju sebagai calon kepala daerah disampaikan KPK setelah lembaga itu menangkap Bupati Kudus Muhammad Tamzil yang terjerat suap jual beli jabatan.
Tamzil merupakan mantan napi korupsi saat menjabat Bupati Kudus periode 2003 s.d. 2008, lalu diajukan dalam Pilkada Kudus 2018.
KPU mempertimbangkan untuk melarang mantan narapidana tindak pidana korupsi menjadi calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2020, dan diatur dalam peraturan KPU (PKPU) atau meminta DPR merevisi UU Pilkada.
Baca juga: DPR: Aturan belum memungkinkan larang eks koruptor maju pilkada
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019