• Beranda
  • Berita
  • Fahri: Larangan mantan napi koruptor ikut pilkada bukan domain KPU

Fahri: Larangan mantan napi koruptor ikut pilkada bukan domain KPU

31 Juli 2019 21:18 WIB
Fahri: Larangan mantan napi koruptor ikut pilkada bukan domain KPU
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah (Antaranews/Riza Harahap)
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menegaskan bahwa kewenangan untuk membuat aturan larangan mantan napi koruptor mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) ada di tangan DPR bukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

"KPU RI itu jaga administrasi penyelenggaraan Pemilu saja, jangan ikut membuat politik penyelenggaraan Pemilu karena itu domainnya DPR, domain politik," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.

Hal itu dikatakan Fahri terkait dukungan KPU RI terhadap keinginan KPK yang mengusulkan aturan larangan bagi mantan narapidana kasus tindak pidana korupsi ikut Pilkada 2020.

Baca juga: PDIP dukung larangan caleg mantan napi korupsi
Baca juga: Fraksi PPP wacanakan angket PKPU larangan mantan napi korupsi


Fahri menilai seharusnya KPU RI bertindak profesional dalam koridor penyelenggaraan Pemilu, memperbaiki kekurangan dalam penyelenggaraan Pemilu KPU RI seperti mengganti kotak suara dari kardus dengan bahan yang lebih baik dan memperbaiki daftar pemilih dengan data kependudukan.

"Itu contoh wilayah kerja KPU sehingga tidak perlu mengurusi urusan politik. KPU itu pekerjaannya tidak dikerjakan namun kerjaan orang lain malah mau dikerjakan," katanya.

Baca juga: Soal larangan mantan napi korupsi "nyaleg", Bamsoet sebut KPU langgar UU
Baca juga: KPU sambut baik koruptor dilarang ikut pemilu


Menurut Fahri, KPU harus merujuk pada UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada sebelum membuat aturan. Aturan terkait pembatasan hak warga negara harus diatur dalam undang-undang. Tanpa UU maka pembatasan hak-hak warga negara seperti aturan larangan mantan napi koruptor maju pilkada dapat melanggar konstitusi.

"Konstitusi mengatur kalau mau merampas hak orang harus menggunakan UU, jangan merampas hak orang menggunakan keputusan KPU, itu salah," ujarnya.

Sementara itu, usulan larangan mantan napi kasus korupsi maju sebagai calon kepala daerah disampaikan KPK setelah lembaga itu menangkap Bupati Kudus Muhammad Tamzil yang terjerat suap jual beli jabatan.

Tamzil merupakan mantan napi korupsi saat menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008, lalu diajukan dalam Pilkada Kudus 2018.

KPU mempertimbangkan untuk melarang mantan narapidana tindak pidana korupsi menjadi calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2020, dan diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) atau meminta DPR merevisi UU Pilkada.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2019