"Tidak cukup alasan yang kuat untuk menyimpulkan bahwa manuver politik yang dilakukan oleh NasDem ini berpotensi menjadi oposisi politik," ujar Ade di Jakarta, Sabtu.
Menurutnya, jika NasDem dicermati dari sejarah serta para tokoh politiknya, partai tersebut tidak didesain oleh para pendirinya untum berada di posisi di luar pemerintahan.
Baca juga: Politisi Nasdem sarankan tiga parpol tetap jadi oposisi
Baca juga: Sekjen Nasdem: parpol kubu 02 jangan tergoda wacana masuk kabinet
Baca juga: Pengamat: Friksi di internal Koalisi 01 akibat kemandekan negosiasi
Sehingga, lanjut Ade, jika sekarang terdapat opini-opini yang cukup kritis dari NasDem dan berbeda dengan isu pembentukan Presiden Joko Widodo yang terlihat akan membuka dirinya kepada partai-partai lain, itu tak lain adalah merupakan bagian dari "power interplay" Partai NasDem.
"Power interplay" merupakan dimana setiap kekuatan politik menjajaki satu sama lain dan mencoba untu membangun satu konsensus, dalam rangka formasi pemerintahan yang dianggap bisa merepresentasikan kepentingan politiknya secara efektif.
"Saya kira ini adalah bagian daripada 'power interplay' NasDem untuk meningkatkan 'bargaining politic'-nya di dalam formasi pemerintahan periode 2019-2024. Tidak ada iktikad politik yang sungguh-sungguh untuk kemudian berada di luar posisi pemerintahan," papar Ade.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia tersebut juga mengatakan bahwa konsekuensi bagi NasDem untuk menjadi partai oposisi di luar pemerintahan dinilai tidak akan menguntungkan.
"Konsekuensinya entu akan sangat dipertimbangkan oleh NasDem tidak akan menguntungkan. Apalagi dalam beberapa kesempatan, NasDem sangat menunjukkan kesan politik bahwa partainya dekat dgn Pak Jokowi dan diklaim sebagai bagian dari NasDem," tandasnya.
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019