• Beranda
  • Berita
  • Keterbatasan akses jadi penyebab kegagalan kontrasepsi

Keterbatasan akses jadi penyebab kegagalan kontrasepsi

27 September 2019 17:21 WIB
Keterbatasan akses jadi penyebab kegagalan kontrasepsi
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo (tengah) memperlihatkan alat kontrasepsi IUD saat meninjau fasilitas kesehatan Puskesmas Beru di Maumere, NTT, Jumat (27/9/2019) (ANTARA/Desi Purnamawati)
Keterbatasan akses menjadi salah satu penyebab kegagalan kontrasepsi sehingga program KB belum begitu efektif di Nusa Tenggara Timur (NTT).

"Keterbatasan akses, misalnya sudah datang, suntik kemudian pulang ke daerah yang agak pedalaman, ya, suntiknya bisa telat. Ini salah satu penyebab kegagalan kontrasepsi," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo di Maumere, NTT, Jumat.

Hasto saat meninjau salah satu fasilitas kesehatan di Maumere dalam rangkaian peringatan Hari Kontrasepsi Sedunia mengatakan karena itu BKKBN mensosialisasikan kepada pasien setelah melahirkan dan akan pulang langsung dilakukan kontrasepsi sesuai dengan keinginan dan tanpa paksaan.

Selain masalah akses, ketersediaan alat kontrasepsi juga menjadi salah satu kendala, karena tidak semua fasilitas kesehatan mempunyai stok alat kontrasepsi ketika ada yang membutuhkan.

"Seperti di NTT ini alat kontrasepsi kurang, sementara di Jawa Timur berlebihan. Kita sudah minta dikirim dari Jawa Timur ke sini," kata Hasto.

Baca juga: Mitos pil KB menurunkan berat badan dan menghilangkan jerawat

Baca juga: Warga Jakpus belum mengetahui keringanan pajak untuk PKB dan BBN-KB


Begitu juga dengan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) baik tenaga kesehatan maupun Petugas KB, jumlahnya perlu ditambah.

"Bidan desa untuk daerah seperti NTT, satu desa harus seorang bidan. Petugas KB di sini rasio satu banding enam, sementara nasional satu banding empat," katanya.

Kepala Perwakilan BKKBN NTT Marianus Mau Kuru mengatakan, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 angka kelahiran di NTT masih tinggi yaitu satu perempuan masih punya tiga hingga empat anak.

"Banyak faktor angka kelahiran di NTT masih tinggi seperti budaya dan anggapan bahwa banyak anak banyak rezeki. Kami terus berupaya fokus menurunkan ini," kata Marianus.*

Baca juga: Kepala BKKBN: Jangan fokus dampak stunting di hilir

Baca juga: Asisten: Sulut mendukung program keluarga berencana

Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019