Salah satu alasan mengapa pencegahan ingin diutamakan adalah karena Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang kerap dipakai menjadi acuan mana negara yang bersih, transparan dan akuntabel dan sebaliknya mana negara yang memelihara korupsi, kolusi dan nepotisme hanya naik tipis.
Jika diamati skor IPK Indonesia yang merupakan hasil dari penelitian Transparasi Internasional Indonesia selama lima tahun terakhir belum bergerak naik secara signifikan. Berawal dengan skor 32 pada 2013, selanjutnya bertambah 1 poin menjadi 34 pada 2014, kemudian pada 2015 meningkat menjadi 36 dan pada 2016 stagnan di posisi 36.
IPK Indonesia pada 2017 yang dirilis Transparency International (TI) pada 2017 bertambah 1 yaitu di angka 37 dari skala 0-100. Skor 0 mengindikasikan paling korup sementara 100 paling bersih.
Pada 2018, IPK Indonesia sekali lagi naik tipis yaitu 1 poin menjadi 38 dan berada di peringkat 89 dari 180 negara yang disurvei. Indonesia punya skor yang sama dengan Bosnia Herzegovina, Sri Langka dan Swaziland.
Rendahnya capaian peningkatan IPK Indonesia itu berbanding terbalik dengan "kebanggaan" pimpinan KPK 2015-2019 yang menyebut bahwa pada 2018 KPK memecahkan rekor 30 kali operasi tangkap tangan (OTT). Semua OTT tersebut berlangsung sejak 4 Januari-28 Desember 2018.
Lalu apakah benar sepanjang 2015-2019 KPK "tidak melakukan apa-apa" untuk mencegah korupsi dan hanya melakukan operasi penindakan berupa OTT?
Baca juga: KPK selamatkan keuangan daerah Rp28,7 triliun
Dianggap sebelah mata
"Saya merasa di-bully nih soal pencegahan, sepertinya para calon pimpinan KPK tidak mengerti soal pencegahan seperti fungsi monitoring, padahal KPK sudah memberikan ribuan rekomendasi perbaikan sistem," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan di Jakarta pada pertengahan September 2019.
Pahala yang mulai bertugas di KPK sejak 15 Oktober 2015 atau lebih dulu sekitar 2 bulan sebelum lima pimpinan jilid IV menjabat mengatakan bahwa sepanjang 2015-2016 KPK sudah membuat 2.115 rekomendasi.
"KPK menerbitkan 123 rekomendasi perbaikan sistem untuk sektor Sumber Daya Alam, pangan, penerimaan negara, pendidikan dan kesehatan, Kalau dihitung sejak tahun 2005 hingga 2016, KPK sudah memberikan rekomendasi perbaikan sistem sebanyak 2.115 rekomendasi mencakup 5 sektor di atas plus kesehatan," tambah Pahala.
Menurut Pahala, ada juga rekomendasi dalam bentuk surat langsung ke presiden.
"Pada 2018 ada 5 surat, tahun 2019 ada 4 surat ke Presiden. Ini benar-benar untuk perbaikan sistem. Produk terbaru korsupgah (koordinasi supervisi pencegahan) daerah dan penyelamatan aset, termasuk aset yang belum diserahlan pengembang," ungkap Pahala.
Baca juga: Pimpinan baru KPK diminta utamakan pencegahan korupsi
Sejumlah aset yang sudah dikembalikan berkat korsupgah tersebut menurut Pahala adalah:
1. Kembalinya gedung dan tanah Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) di Jalan Gatot Subroto ke Kementerian Tenaga Kerja dengan nilai sekira Rp1,7 triliun
2. Cukai rokok untuk Pulau Batam yang tadinya dibebaskan sekarang tidak lagi, nilai kehilangan cukai tahun 2018 saja sudah mencapai Rp900 miliar.
3. Penagihan pajak daerah Rp18,8 triliun terutama untuk DKI Jakarta
4. Penyerahan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) dari pengembang ke pemda misalnya stadion senilai Rp2,5 triliun di Sulawesi Selatan
5. Pengembang di DKI akhirnya menyerahkan fasos fasum ke pemda senilai Rp21,9 triliun
6. Penyarahan aset pemda Binjai yang tadinya dikuasai pihak ke-3 dalam proses kembali ke pemda senilai Rp42 miliar
7. Penyerahan tanah milik PT KAI di Medan yang tadinya dikuasai pihak ke-3 seluas 35.537 meter persegi. Namun ada yang menjadi gedung pusat perbelanjaan dan RS dengan nilai tanah Rp500 miliar. KPK memfasilitasi negosiasinya karena tidak mungkin bangunan dibongkar.
8. Dari aset di Medan tersebut, pemda akan mendapat PBB dan pajak daerah lain senilai Rp100 miliar/tahun
9. Penyerahan tanah milik pemprov kepulauan Riau yang tadinya dikuasai pihak ke-3 sedang difasilitasi kembali ke pemda senilai Rp24 miliar
10. Penyerahan tanah milik pemprov Jambi yang dikuasai pihak ke-3 senilai Rp35 miliar
11. Penagihan Tunggakan pajak daerah kota Bandarlampung dan kabupaten Pesawaran dibayar ke pemda Rp312 miliar
12. Penagihan piutang Pajak Bumi dan Bangunan kabupaten Bandung senilai Rp7,3 miliar
13. Penagihan piutang pajak kendaraan bermotor provinsi Kalimantan Barat Rp2 miliar
14. Penagihan piutang pajak daerah Kendal, Tegal, Wonosobo, Surakarta, Blora Semarang mencapai Rp12 miliar
15. Penagihan piutang pajak daerah Yogyakarta senilai Rp9 miliar
16. Penagihan tunggakan pajak daerah Lombok Barat, Mataram, Sumbawa Rp14 miliar
17. Penyerahan aset fasum fasos tambahan dari pengembang kepada pemkot Makasar senilai Rp20 miliar
18. Penagihan pajak daerah di Banggai, Poso, Tual Rp22 miliar
19. Peningkatan pendapatan daerah dari pajak hotel, restoran dan tempat hiburan dengan kewajiban pemasangan alat "tapping box" (alat rekam pajak) di 16 provinsi meningkat sejak Januari-Agustus 2019 senilai Rp699 miliar. Nilai tersebut terus akan meningkat karena pemasangan alat menjamin akurasi pendapatan daerah masuk ke kas pemda.
20. Optimalisasi penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan sistem Host-to-Host dan Badan Pertanahan Nasional supaya untuk pemda diterima sebelum sertifikat dibalik nama di 5 provinsi mencapai Rp940 miliar. Di DKI Jakarta saja sudah meningkat menjadi Rp888 miliar
21. Penagihan tunggakan pajak kendaraan bermotor, pajak bahan bakar di DKI, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Papua senilai total Rp538 miliar.
Sehinga KPK telah menyelamatkan keuangan daerah sekira Rp28,7 triliun dari kegiatan pencegahan korupsi pada semester 1 tahun 2019.
"Pokoknya gak rugi deh negara 'biayain' pencegahan, lagi pula (laporan) ini belum semua daerah tuh ke depan bisa lebih meningkat lagi," ungkap Pahala.
Baca juga: Capim Luthfi: Pemberantasan korupsi harus fokus pada pencegahan
Terobosan
Sesungguhnya sejak 2016, bidang pencegahan KPK juga telah membuat banyak terobosan baru. Korsupgah dilakukan terintegrasi dengan menggandeng bidang penindakan. Melalui Korsupgah terintegrasi, KPK bisa menggali lebih banyak data dan fakta di daerah sasaran program.
Akibatnya, KPK bisa mengetahui sumber permasalahan di berbagai daerah sasaran program, sehingga pendampingan yang dilakukan
juga sejalan. Ibarat mengobati penyakit, jika diagnosisnya tepat, maka tepat pula terapi yang diberikan.
Korsupgah terintegrasi pada dasarnya merupakan upaya pencegahan korupsi melalui perbaikan tata kelola pemerintah daerah. Melalui program tersebut, KPK berupaya mendorong perbaikan sistem pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Pada 2016, pelaksanaan program Korsupgah terintegrasi terbagi atas tiga tahap. Selain Sumatera Utara, Riau, dan Banten, yang menjadi daerah sasaran tahap pertama, ada juga Papua, Papua Barat, dan Aceh untuk tahap kedua. Sedangkan tahap ketiga dilaksanakan di Bengkulu, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.
Pemilihan provinsi untuk tahap pertama, karena maraknya korupsi di daerah tersebut. Selain itu, karena belum adanya dampak signifikan kegiatan pencegahan korupsi. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya tingkat pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, belum adanya dampak Program Pengendalian Gratifikasi (PPG), serta belum terlihatnya dampak Program Tunas Integritas dan Komite Integritas.
Sedangkan pada Desember 2017, KPK meluncurkan aplikasi JAGA. JAGA merupakan sistem yang mendorong transparansi dalam rangka
pencegahan korupsi.
Dengan JAGA, KPK mendorong kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah untuk membangun sistem untuk mengelola informasi terkait layanan publik dan mentransparansikan informasi tersebut untuk mencegah terjadinya penyimpangan pelaksanaan layanan publik. Keterbukaan tersebut, diharapkan meningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada rakyat.
Bentuk pencegahan lainnya adalah KPK berinisiatif mengajak pemerintah daerah dan Kamar Dagang Industri untuk membentuk Komite
Advokasi Daerah (KAD). Tujuannya, mencari solusi untuk membangun bisnis yang berintegritas dan bebas korupsi.
Sedangkan dengan sektor swasta, KPK membuat program Profesional Berintegritas (PROFIT) sebagai pedoman pencegahan korupsi sektor privat.
PROFIT meluncurkan "Panduan Teknis Pencegahan Sektor Usaha". Panduan ini dapat digunakan oleh korporasi di Indonesia sebagai acuan minimum dalam membangun dan menerapkan sistem pencegahan korupsi dalam korporasi.
Penerapan panduan ini dalam korporasi bukanlah suatu jaminan hilangnya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi apabila tindak pidana pidana korupsi masih terjadi. Namun, panduan pencegahan korupsi ini akan menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan keputusannya kepada korporasi yang terlibat kasus tindak pidana.
Baca juga: Pengamat: Lima pimpinan baru KPK akan perkuat pencegahan korupsi
Tahun 2018 KPK juga resmi menjadi kordinator Tim Nasional Pencegahan Korupsi (Timnas PK). Empat kementerian ditunjuk menjadi bagian dari tim, yakni Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Kepala Staf Kepresidenan. Fokus Stranas Pencegahan Korupsi meliputi perizinan dan tata niaga; keuangan negara serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
KPK sejak 2018 pun akhirnya bertolak ke 34 provinsi untuk mengurai sat per satu sistem bermasalah dengan 8 program kerja yaitu (1) Perencanaan dan Penganggaran APBD, (3) Pengadaan Barang dan Jasa, (3) Pelayanan Terpadu Satu Pintu, (4) Kapabilitas parat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP), (5) Manajemen Aparatur Sipil Negara, (6) Dana Desa, (7) Optimalisasi Pendapatan Daerah dan (8) Manajemen Aset Daerah.
Tidak ketinggalan KPK berupaya untuk mengurai pemberhentian ASN yang seharusnya diberhentikan karena terlibat kasus pidana. Data menunjukkan ada lebih dari 1000 ASN seharusnya sudah dipecat karena telah ada keputusan berkekuatan hukum tetap namun uang negara masih mengalir ke rekening mereka sebagai gaji. Hingga kini, baru 837 ASN yang diberhentikan tidak dengan hormat dari seharusnya ada 2.357 ASN yang diberhentikan tidak dengan hormat.
Bila dilihat dari potensi penyelamatan aset negara, sudah selayaknya baik kedeputian penindakan dan juga kedeputian pencegahan KPK diperkuat baik dari sisi anggaran maupun personel.
Kenyataannya sebaliknya
Pada 2016, Kedeputian Pencegahan mendapat anggaran sebesar Rp75,4 miliar dengan jumlah personel 239 orang sedangkan pada periode yang sama Kedeputian Penindakan mendapat anggaran sebesar Rp44,8 miliar
Pada 2017, anggaran Kedeputian Pencegahan menyusut tinggal sebesar Rp51,8 miliar dengan 263 orang personel dibanding dengan Kedeputian Penindakan senilai Rp50,6 miliar dengan personel 352 orang
Sedangkan pada 2018, Kedeputian Pencegahan lagi-lagi mengalami pengurangan anggaran yaitu RpRp46,23 miliar untuk 310 orang personel, sedangkan Kedeputian Penindakan mendapat anggaran Rp64,066 miliar untuk 439 orang personel.
Jadi bentuk pencegahan seperti apa yang sesungguhnya ingin diutamakan oleh para pimpinan KPK terpilih 2019-2023?
Baca juga: KPK: pencegahan korupsi sulit berhasil jika tidak didukung elemen lain
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019