• Beranda
  • Berita
  • Politisi PDI-P anggap KPK hanya lakukan pekerjaan sirkus

Politisi PDI-P anggap KPK hanya lakukan pekerjaan sirkus

8 Oktober 2019 18:58 WIB
Politisi PDI-P anggap KPK hanya lakukan pekerjaan sirkus
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu ketika menjadi pembicara "Habis Demo Terbitlah Perppu" di Tebet Jakarta Selatan, Selasa (8/10/2019). (ANTARA/Abdu Faisal)
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu menganggap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya akan melakukan pekerjaan ala sirkus jika Undang-Undang KPK tidak segera direvisi.

"Saya berkeyakinan (UU KPK) harus direvisi. Karena saya ingin pemberantasan korupsi lebih maju lagi. Operasi tangkap tangan (OTT), sadap, tuntut. Itu kerja ala sirkus," ujar Masinton saat menghadiri diskusi publik "Habis Demo Terbitlah Perppu" di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa.

Baca juga: Masinton anggap pimpinan KPK 2015-2019 sudah tak ada

Baca juga: ICW: Ada 10 konsekuensi timbul bila presiden tak keluarkan Perppu KPK

Pekerjaan sirkus itu, kata dia, mengakibatkan pendanaan pemberantasan korupsi yang sudah 15 tahun dilakukan oleh KPK jauh lebih besar daripada pengembalian uang yang diterima Negara.

"Kerugian negara yang dikembalikan oleh KPK itu Rp3,4 triliun. Sedangkan anggaran KPK itu Rp15 triliun. Apakah anggaran negara dengan kerugian negara yang dikorupsi sudah optimal dikembalikan? Jauh," ujar Masinton di Jakarta, Selasa.

Mantan aktivis di era 1998 itu menganggap apa yang dilakukan KPK seharusnya dapat lebih optimal. Sebab, parameter suksesnya penindakan korupsi itu dilihat dari pencegahan, penindakan, dan pengembalian kerugian negara.

"KPK cuma bisa menyadap, OTT, sadap, OTT. Mana pencegahan yang dilakukan KPK? Kerjanya terjebak rutinitas. Kerja sirkus," kata Masinton.

Baca juga: KPK mengidentifikasi 26 persoalan dalam revisi UU KPK

Baca juga: Semester I 2019 KPK selamatkan keuangan daerah Rp28,7 triliun


Sementara itu, Penggiat Antikorupsi, Emerson Yuntho tak sependapat dengan Masinton. Menurut dia, KPK saat ini lebih banyak melakukan OTT Kasus Penyuapan yang domainnya tidak menyentuh Arus Kas Negara.

"KPK 70 atau 80 persen kasus-kasus yang ditangani mereka kasus penyuapan pak. Jadi kalau saya menyuap ke A, itu tidak ada kerugian negaranya. Jelas," ujar Emerson.

Hal itu berbeda dari Kepolisian dan Kejaksaan yang menindak Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Menurut penggiat antikorupsi yang cukup aktif di Indonesia Corruption Watch sebelum masa baktinya berakhir Desember 2018 lalu itu, masalah penyuapan tidak ada kaitannya dengan kerugian negara.

Baca juga: Laode Syarif: Menkumham bohong soal akan pertemukan KPK dengan DPR

Baca juga: Menkumham jelaskan poin pokok revisi UU KPK yang disahkan DPR


Menyoal tiga parameter suksesnya pemberantasan korupsi ditinjau dari hasil United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) itu soal pencegahan, Emerson menganggap kesalahan itu seharusnya ditimpakan ke partai politik bukan ke KPK.

Ia mengambil contoh kasus korupsi yang belakangan ini menjerat kepala daerah di sejumlah kabupaten dan kota. Menurut dia, pengawasan harusnya bisa dilakukan internal partai ataupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.

"Sebenarnya yang dipersalahkan jangan KPK doang, Pak. Internal partai juga harus dipersoalkan. Artinya, fungsi pengawasan di DPRD setempat enggak jalan. Di internal partai juga enggak jalan," kata Emerson.

Baca juga: Pimpinan KPK: Pembahasan revisi UU KPK seperti sembunyi-sembunyi

Baca juga: Massa banjiri Gedung DPRD NTB tolak RKUHP dan UU KPK yang baru

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019