Bahkan jika malam hari surutnya, malam-malam itulah kita bekerja
Atiam, pria paruh baya itu tersenyum bahagia melihat deretan lampu yang menggantung di rumah kayunya menyala. Bola-bola lampu itu menggantikan pelita temaram yang selama ini menemani malam-malam keluarganya.
Senyum bapak tiga anak itu semakin merekah melukiskan lembah tajam di keningnya kala menatap si sulung semangat membuka lembaran kerja siswa. Sesekali si sulung yang duduk di bangku Kelas IV SD Negeri 04 itu dengan sabar menuntun dua adiknya yang juga mengenyam pendidikan di sekolah yang sama.
Atiam adalah salah satu dari ribuan warga Suku Akit yang merasakan damainya teraliri listrik. Rumah panggung kayu tak bercat yang ia diami, kini lebih berwarna saat malam hari setelah pada 17 Agustus 2019, kabel-kabel pergerakan elektron tersambung.
Suku Akit menjadi suku mayoritas yang mendiami Dusun Hutan Samak, Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Riau. Satu dusun di tengah Pulau Rupat dan dikelilingi hutan lebat mangrove.
Suku Akit dikenal sebagai suku yang pemalu. Mereka tidak mudah menerima kehadiran hal baru. Suku Akit juga masih jauh dari kemajuan. Cara hidup mereka masih bertahan pada ajaran nenek moyang dengan mengandalkan alam.
Baca juga: Jonan targetkan seluruh wilayah Indonesia teraliri listrik tahun 2020
Namun, Atiam dan sebagian besar dari mereka juga mulai menyimpan harapan, terutama generasi penerus, agar hidup layak seperti layaknya masyarakat umumnya.
Oleh sebab itu, Atiam tak ragu menyekolahkan anak-anaknya. Dia memilih untuk tidak mengajak anaknya pergi ke laut mencari ikan, seperti yang dilakukan orang tuanya dahulu. Namun, dia memberi kesempatan kepada si sulung untuk sekolah dan menjadi contoh baik kepada adik-adiknya.
Atiam juga sosok sentral ketika listrik akan memasuki dusun Hutan Samak. Sebagai sosok yang dituakan, dia memberikan pemahaman kepada jiran dan kolega bahwa keberadaan listrik akan sangat membantu mereka menata hidup lebih layak.
Dia percaya bahwa keberadaan listrik akan menjadi fondasi awal perubahan. Hatinya lega ketika dusunnya yang berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka itu, pada akhirnya tersambung listrik dan menyalakan semangat hidup.
Morong, sungai yang membelah Pulau Rupat menjadi saksi bisu keberadaan Suku Akit yang menurut Julianus Limbeng MSi dalam bukunya berjudul "Suku Akit di Pulau Rupat" bermastautin sejak abad 15. Harmoni sungai yang mengalir pelan itu juga akan menjadi saksi mereka mulai menerima kehidupan dengan lebih baik.
Lokasi terakhir
Dusun Hutan Samak menjadi lokasi terakhir yang terselesaikan dari masalah klasik, keterbatasan sumber listrik di perbatasan Indonesia.
Pada Agustus 2019, PLN Wilayah Riau, Kepulauan Riau menyatakan seluruh dusun di Pulau Rupat yang secara geografis terletak di bibir Selat Malaka dan berbatasan langsung dengan "Negeri Jiran" Malaysia itu 100 persen teraliri listrik.
Sebanyak 20 desa dan empat kelurahan di Kecamatan Rupat dan Rupat Utara telah terang benderang selama 24 jam. Kini wajah pulau di barat Indonesia itu bisa sedikit tersenyum bangga menatap luasnya Selat Malaka.
Pembangunan jaringan di Dusun Hutan Samak terbilang bukan pekerjaan mudah.
Baca juga: Mahasiswa EPT 2018 ingatkan medan berat untuk melistriki Mimika
Manajer PLN Unit Pembangkit 3 Dumai Praniko Banu Rendra kepada ANTARA mengisahkan pembangunan jaringan listrik di dusun itu dimulai sejak Desember 2018, setelah serangkaian kajian dilakukan dua bulan sebelumnya.
Sejumlah rintangan harus diselesaikan para "prajurit perang" PLN. Kondisi alam berupa pasang surut air laut menjadi rintangan paling rentan. Puluhan pekerja harus bersahabat dengan alam karena izin lokasi pembangunan menara interkoneksi PLN di Pulau Rupat berada di bantaran sungai.
Jika pasang datang maka dengan berat hati mereka menghentikan pekerjaan, sedangkan saat air laut mulai menyusut maka mereka harus berpacu dengan waktu.
"Bahkan jika malam hari surutnya, malam-malam itulah kita bekerja," ujarnya.
Ancaman satwa liar mulai dari ular hingga kemungkinan kemunculan buaya muara tak menggerus semangat mereka.
Beruntung, dia mengaku, hingga pemasangan selesai tidak ada gangguan berarti. Meski, kabut asap pekat sempat menyelimuti pulau itu awal tahun ini.
Pengentasan aliran listrik di Rupat diberikan tenggat waktu selama delapan bulan. Selama itu pula para pekerja mendirikan empat menara setinggi 35 meter. Niat dan kerja keras tanpa kenal lelah akhirnya membuahkan hasil dengan tersambungnya sistem kelistrikan menggunakan tower 20 KV sepanjang 400 meter di Hutan Samak dan 200 meter di Dusun Simpur.
"Alhamdulillah, pembangunan tower 20 KV yang dimulai pada Desember 2018 dan telah rampung di Agustus 2019," ujarnya.
Baca juga: Menteri Rini dorong BUMN bersinergi naikkan rasio elektrifikasi di NTT
Pulau Rupat yang sejatinya telah tersambung aliran listrik melalui kabel bawah laut dari Kawasan Industri Dumai (KID) yang berada di Pulau Sumatera sejak 2013 itu, kini benar-benar merdeka. Selain PLN, keberhasilan itu tak lepas dari bantuan masyarakat yang dengan ringan tangan bergotong royong bersama.
Harta karun yang selama ini tersimpan rapi berupa hamparan pantai pasir putih, kekayaan budaya Melayu hingga Suku Akit, serta hasil tani seperti nanas madu dan ikan bisa tergali.
"Hadirnya PLN di tengah-tengah masyarakat dapat meningkatkan sektor perekonomian dan pendidikan," tuturnya.
Bupati Bengkalis Amril Mukminin tak kuasa menahan suka cita.
Ia mengharapkan Pulau Rupat menjadi andalan Kabupaten Bengkalis yang hingga kini masih bergantung dengan sektor migas. Sektor pariwisata akan terus dikembangkan di pulau berpenduduk 47.000 jiwa itu pada masa mendatang.
Dia pun tak sungkan mengajak PLN bersinergi untuk destinasi wisata di Pulau Rupat.
"Apalagi Pulau Rupat telah dipilih sebagai kawasan ekonomi khusus pariwisata. Untuk itu, kami meminta dukungan sekaligus sinergitas dari PLN memajukan wisata di pulau ini," tutur dia.
Cukup tinggi
Dalam tiga tahun terakhir, peningkatan rasio elektrifikasi di Riau cukup tinggi. Rasio elektrifikasi (RE) menandakan tingkat perbandingan jumlah penduduk yang menikmati listrik dan jumlah total penduduk di suatu wilayah atau negara.
Tiga tahun terakhir ini, RE di Riau menanjak dari sekitar 77 persen pada 2016 menjadi 84 persen pada 2017, sedangkan hingga Desember 2018 mencapai 89,06 persen.
Pada semester I 2019, angka itu kembali menunjukkan tren positif meningkat hingga 96,45 persen yang berarti sudah menjangkau 1.793 desa di daerah berjuluk “Bumi Lancang Kuning” itu. Dari total 1.859 desa di Riau, tinggal 66 desa yang belum dijangkau listrik PLN.
Baca juga: PLN targetkan listriki Kepulauan Masalembu Madura pada 2020
General Manager PT PLN Unit Induk Wilayah Riau-Kepri M. Irwansyah Putera menjelaskan dari 12 kabupaten/kota di Riau, PLN secara bertahap memberikan pelayanan listrik ke seluruh desa dengan mengusung motto “Menembus batas Riau terang”.
Sejak program tersebut mulai diluncurkan pada 2016, daerah-daerah yang sudah rasio listrik desanya 100 persen, antara lain Kota Pekanbaru, Dumai, Kabupaten Kuantan Singingi dan Bengkalis, ditambah Kabupaten Siak pada Januari 2019. Pada semester I tahun ini, rasio desa berlistrik mencapai 96,45 persen dengan tercapainya layanan listrik di seluruh desa di Kabupaten Rokan Hulu.
Pada Agustus rasio desa berlistrik ditargetkan 96,77 persen dengan pencapaian optimal di Kabupaten Pelalawan dan Kepulauan Meranti. Rasio desa berlistrik di Pelalawan hingga Juni mencapai 95,76 persen dan Meranti 99,01 persen.
“Pencapaian rasio desa berlistrik 100 persen di Pelalawan dan Meranti menjadi kado Hari Kemerdekaan Ke-74 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2019,” katanya.
Baca juga: Memanen cahaya matahari di bumi NTT demi target rasio elektrifikasi
Pada September ditargetkan realisasi 100 persen dicapai di Kabupaten Indragiri Hulu dan Rokan Hilir. Rasio desa berlistrik di dua daerah itu kini masing-masing 99,48 dan 97,83 persen.
Seluruh desa di Riau ditargetkan bisa masuk listrik PLN pada Oktober, yang ditandai dengan pencapaian rasio 100 persen desa berlistrik di Kabupaten Kampar dan Indragiri Hilir. Realisasi di Kampar sekitar 93,60 persen dan Indragiri Hilir 83,47 persen.
Indragiri Hilir adalah kabupaten di pesisir Riau yang realisasi rasio desa berlistrik paling rendah. Kondisi geografis daerah itu dengan akses transportasi yang terbatas menjadi tantangan cukup sulit bagi PLN.
“Kondisi geografis Inhil (Indragiri Hilir) yang menantang, wajar saja daerah itu dijuluki 'Negeri Seribu Parit'. Kita memasukkan material kita saja dari Pekanbaru ke desa di sana bisa 90 hari, padahal kalau jalannya lancar dua hari sudah sampai,” katanya.
Diharapkan semua rencana desa berlistrik tahun ini bisa rampung sesuai target atau rasio desa berlistrik 100 persen di Riau.
Capaian itu akan menjadi kado bagi peringatan Hari Listrik Nasional yang diperingati pada 27 Oktober.
Baca juga: PLN hadirkan program "one man one hope" kejar elektrifikasi listrik
Baca juga: Perlu program bersama dalam pengembangan elektrifikasi
Baca juga: Dana desa bisa digunakan untuk membangun pembangkit listrik
Pewarta: Anggi Romadhoni
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019